Minggu, 15 Juni 2008

Natal Yang Bersejarah

Interpretasi Historis Status Kelahiran Yesus Kristus



I. Kontroversi Status Kelahiran Yesus

Pribadi Yesus selalu menarik perhatian banyak orang. Boleh dikata, perhatian mereka terhadap-Nya memiliki kurun waktu yang sama panjangnya dengan perhatian itu sendiri. Sejak kelahiran-Nya hingga masa kini, pribadi Yesus selalu menjadi perbincangan, diskusi, dan perdebatan banyak kalangan. Mamang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada seorangpun dalam sejarah manusia yang memiliki keunikan yang sama seperti Yesus. Kelahiran-Nya, kehidupan dan pelayanan-Nya, bahkan kematian dan kebangkitan-Nya, semuanya itu tidak pernah dialami oleh manusia pada umumnya. Itulah sebabnya, perbincangan mengenai Yesus selalu menimbulkan kontroversi dan mengguncangkan pikiran banyak orang, seperti yang dialami para murid, yang berdecak kagum dan heran, ketika mereka melihat Yesus meredakan angin ribut: “Siapakah gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” (Mrk. 4:41).

Salah satu topik yang menjadi perhatian banyak kalangan pada masa kini tentang pribadi Yesus adalah perihal kelahiran-Nya. Misalnya, James D. Tabor, seorang sarjana sejarah dan agama Kristen mula-mula, dalam tulisannya, Dinasti Yesus: Sejarah Tersembunyi Yesus, Keluarga Kerajaan-Nya, dan Kelahiran Kekristenan (Jakarta: Gramedia, 2006), menjelaskan bahwa kesaksian Injil Kanonik (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) tentang Yesus mengindikasikan adanya penyembunyian fakta yang otentik. Fakta apakah itu? Menurut Tabor, Injil Kanonik menyimpan sebuah rahasia bahwa Yesus sebenarnya adalah anak haram (illegitimate child), yakni anak hasil perselingkuhan antara Maria dengan seorang prajurit Romawi (Pantera), tatkala ia sedang bertunangan dengan Yusuf. Benarkah demikian?



II. Interpretasi Historis James D. Tabor

Tentang Status Kelahiran Yesus


Catatan Tersembunyi Markus

Menurut Tabor, salah satu indikasi yang menguatkan bahwa Yesus lahir dari zinah berasal dari catatan Injil Markus. Penyebutan identitas Yesus dengan mengatakan: “Ia ini tukang kayu, anak Maria” (Mrk. 6:3) merupakan sebutan yang tidak lazim pada waktu itu. Dalam tradisi Yahudi (Yudaisme), anak-anak kerap disapa dengan sebutan sebagai anak ayahnya, bukan anak ibunya. Demikian pula, Markus tidak pernah merujuk kepada Yusuf sebagai ayah Yesus, baik dengan menyebutkan namanya atau dengan cara lain. Markus sama sekali menghindarkan diri dari perihal ayah Yesus. Keheningan Markus tentang ayah Yesus ini, menurutnya, mengindikasikan bahwa Yesus memiliki ayah biologis.


Penyortiran Matius dan Lukas


Selain Injil Markus, menurut Tabor, Matius maupun Lukas telah melakukan penyortiran secara halus rumor yang beredar saat itu tentang status ilegitimasi kelahiran Yesus (Mat. 13:53-58; Luk. 4:16-30). Hal ini terlihat dari perbedaan perkataan antara Markus dengan Matius/Lukas. Markus mengatakan: “Ia ini tukang kayu, anak Maria” (Mrk. 6:3), sebaliknya Matius mengatakan: “Bukanlah ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria?” (Mat. 13:55), dan Lukas mengatakan: “Bukankah ia ini anak Yusuf? (Luk. 4:22 ). Tabor menjelaskan, jika Matius dan Lukas menggunakan Injil Markus sebagai sumber tulisannya, maka penambahan kata “anak tukang kayu” atau “anak Yusuf” membuktikan kesigapan Matius maupun Lukas merespons rumor status ilegitimasi kelahiran Yesus, seakan-akan mereka hendak mengatakan kepada pembaca injilnya bahwa cerita tentang Yesus tidaklah demikian.

Selain itu, Tabor berpendapat, meskipun Matius telah memperhalus dan menyortir perihal status ilegitimasi kelahiran Yesus dari Injil Markus, namun catatan Matius tetap menyiratkan permasalahan ini. Hal ini nampak dalam tulisan Matius tentang silsilah Yesus. Menurutnya, standar silsilah orang Yahudi mana pun pada waktu itu di dasarkan pada garis keturunan pria, yang menjadi bagian penting dari semuanya. Demikian pula halnya dengan silsilah Yesus (Mat. 1:1-17). Namun yang sangat mengherankan Matius memasukan sejumlah nama perempuan, yang kebanyakan dari mereka memiliki skandal seksual (Tamar, Rahab, istri Uria). Bahkan, Matius tidak menyebutkan nama istri uria (Batsyeba), karena ia merasa malu. Jika demikian, apa maksud Matius dibelakang penyebutan silsilah Yesus dalam Injilnya? Tabor menjelaskan: “Matius sedang menyiapkan para pembaca untuk memasuki cerita yang terjadi selanjutnya, di mana Maria, seorang perempuan yang telah bertunangan, di hamili oleh seorang laki-laki yang bukan suaminya. Seakan-akan ia dengan diam-diam menghimbau para pembaca yang sangat menjunjung tinggi kesalehan ataupun yang cepat menghakimi orang untuk tidak mengambil kesimpulan yang terburu-buru. Di dalam silsilah yang paling dihormati di dalam kebudayaan mereka, yaitu garis keturunan Raja Daud sendiri, ada banyak kisah tentang amoralitas seksual yang melibatkan laki-laki dan perempuan seperti ini; orang-orang yang pada gilirannya justru tetap mereka kenang dengan penuh hormat.” Dengan kata lain Tabor ingin mengatakan bahwa Matius berusaha memalingkan arah pandang pembacanya, bukan tertuju pada skandal yang terjadi pada Maria, tetapi pada garis keturunan Yusuf, sebagai keturunan Raja Daud yang mereka hormati (Bnd. Luk. 3:23-37).


Pemberitaan Tersembunyi Yohanes


Bagi tabor, yang menarik perhatiannya bukan saja kesaksian Markus, Matius atau Lukas, tetapi juga catatan Yohanes. Menurutnya, Yohanes juga menceritakan status ilegitimasi kelahiran Yesus secara lebih terbuka, meskipun masih menyembunyikannya. Jawaban orang-orang Farisi dan ahli Taurat terhadap perkataan Yesus merupakan sebuah sindiran mengenai status ilegitimasi kelahiran-Nya. Kalimat “Kami tidak dilahirkan dari zinah” (Yoh. 8:42) menyimpan sebuah isu yang sedang terjadi pada waktu itu dan telah diketahui banyak orang, bahwa Yesus adalah anak haram. Perkataan tersebut boleh dijelaskan dengan kalimat lain, yakni: “Kami tidak dilahirkan dari zinah! Tidak seperti kamu!” Dengan demikian, orang-orang Farisi maupun ahli Taurat telah mengetahui rumor/skandal yang terjadi di kampung Yesus (Nazaret), meskipun mereka berada di Yerusalem. Rumor tersebut tampaknya telah tersebar luas, sehingga tidak dapat dihentikan. Bahkan, menurut Tabor, berdasarkan sebuah teks Kristen berjudul “Kisah Pilatus” yang ditulis pada abad IV, terdapat sebuah catatan bahwa tuduhan yang diajukan para musuh-Nya adalah “Kamu dilahirkan dari zinah.” Dengan kata lain, Tabor ingin menjelaskan bahwa rumor itu bukanlah isu belaka, tetapi suatu kenyataan historis yang telah diketahui banyak orang pada masa Yesus, bahkan rumor tersebut berumur panjang. Tabor juga menambahkan, salah satu bukti tentang status ilegitimasi Yesus adalah kesaksian Celsus yang hidup pada abad II (178 M), yang menceritakan bahwa ayah Yesus sebenarnya bernama Pantera, seorang serdadu Romawi yang menghamili Maria.

Pemikiran Tabor di atas tentu sangat menggelitik kita, “apakah interpretasi historis yang dilakukannya tentang status ilegitimasi kelahiran Yesus dapat dikatakan valid?” Jika hal ini benar, maka Implikasinya akan mempengaruhi iman Kristen. Jika Yesus sungguh-sungguh anak haram, anak hasil perselingkuhan Maria dengan seorang serdadu Romawi bernama Pantera, maka Yesus bukalah Juruselamat Dunia, sebab Ia sendiri perlu diselamatkan dari dosa.

Untuk itu, penulis akan memberikan evaluasi terhadap interpretasi historis tersebut dan mendeskripsikan bahwa berdasarkan konteks sosial-religius saat itu, status kelahiran Yesus dapat dipertanggungjawabkan; dan kelahiran-Nya adalah sungguh-sungguh intervensi ilahi.


III. Status Kelahiran Yesus Ditinjau dari Konteks

Sosial dan Religiusitas Masyarakat Yahudi


Dalam hukum keagamaan (halakah) masyarakat Yahudi, seseorang yang lahir dari perzinahan atau dari perkawinan yang tidak sah disebut mamser (“Mamzer” http://en.wikipwdia.org/wiki/Mamzer). Menurut Meir Bar-Ilan, anak yang disebut mamser akan memiliki status sosial yang kurang baik di tengah-tengah masyrakatnya. Selama hidupnya, anak tersebut tidak akan dihormati masyarakat karena status kelahirannya (“The Attitude towards Mamzerim in Jewish Society in Antiquity,” Jewish History 14 (2000) 125). Demikian pula, Joachim Jeremias menjelaskan bahwa anak mamser, pada umumnya, dianggap sebagai “sampah” dari sebuah komunitas masyarakat (Jerusalem in the time of Jesus (London: SCM, 1969) 337). Ini berarti status sosial seorang mamser akan berimplikasi buruk terhadap aktivitas dan masa depannya. Bar-Ilan menjelaskan: “In antiquity mamzerim were segregated . . . from the general Jewish society in many areas: dwellings, studies, marriage, etc. Society saw these people as outcasts because of the sin of their parents: consequently mamzerim could not be integrated in society in any way” [Dalam zaman kuno “mazerim” dipisahkan . . . dari masyarakat Yahudi secara umum dalam banyak; seperti tempat tinggal, pendidikan, pernikahan dan sebagainya. Masyarakat melihat orang tersebut sebagai orang yang terusir dari masyarakat karena dosa orang tuanya; konsekuensinya seorang mamzer tidak dapat digabungkan dalam kemasyarakatan dengan alasan apapun (“The attitude towards Mamzerim.” 144)].

Berdasarkan konteks sosial-religius (halakah) Yahudi, jika masyarakat Yahudi pada zaman Yesus mengetahui diri-Nya sebagai anak mamzer atau anak haram, sudah pasti hal ini akan mempengaruhi aktivitas dan hubungan-Nya dengan masyarakat sekitar. Artinya, bagaimana status kelahiran Yesus, hal ini akan mempengaruhi status sosialnya. Untuk itu, metodologi yang tepat menemukan status kelahiran Yesus adalah memulainya dari bagaimana bentuk interaksi dan aktivitas-Nya di tengah-tengah masyarakat Yahudi (Scott McKnight, “Calling Jesus Mamzer,” Journal for the study of the Historical Jesus 1/1 (2003) 98).


Markus 6:3


Frase: “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria” (Mrk. 6:3) merupakan respons masyarakat Nazaret terhadap pribadi Yesus. Namun hal ini bukan berarti mereka sedang mempermalukan Yesus karena status kelahiran-Nya. Alasannya: Pertama, kita harus mengerti bahwa Markus menyampaikan pesan Injilnya kepada orang-orang bukan Yahudi yang tidak mengenal Yudaisme secara komprehensif, sehingga tidak tepat apabila Tabor memahami gaya penulisan Markus dari standar Yudaisme (Robert H. stein, “Is Our Reading the Bible the Same as the Original Audience’s Hearing It? A Case Study in the Gospel of Mark,” Journal of the Evangelical Theological Society 46/1 (2003) 63-78). Istilah “anak Maria” memang memiliki banyak penafsiran, antara lain: (1) menyatakan “kelahiran melalui anak dara Maria” (Klostermann); (2) referensi tentang status ilegitimasi kelahiran Yesus (Stauffer); (3) Maria sudah janda (Schweizer); (4) Markus tidak tertarik dengan ayah Yesus yang tidak pernah ia sebut (Crossan) [lih. Robert A. Guelich, Word Bible Commentary volume 34a: Mark 1-8:26 (Dalas: Word Books, 1998, edisi elektronik)]. Namun yang jelas adalah perkataan tersebut tidak berkaitan dengan satatus ilegitimasi kelahiran Yesus, tetapi masyarakat sedang mempertanyakan asal-usul hikmat dan pengajaran-Nya (ibid). Bahkan penyebutan saudara-saudara Yesus (Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon) justru menjelaskan legitimasi kelahiran-Nya, di mana mereka adalah anak-anak Maria dan Yusuf (James F. McGrath, “Was Jesus Illegitimate? The Evidence of His Social Interactions” Journal for the Study of the Historical Jesus 5/1 (2007) 90-91).

Selain itu, jika penduduk Nazaret mengetahui bahwa Yesus adalah anak haram, maka mereka tidak akan mendengarkan ajaran-Nya dan menjadi takjub. Mereka akan mengusir dan mengucilkan-Nya sebelum Ia sempat memasuki tempat ibadah (sinagoge) mereka. Secara kronologis, peristiwa Yesus masuk ke tempat ibadah (sinagoge) dan mengajar banyak orang mendahului keraguan/penolakan mereka. Dengan demikian mereka sebenarnya tidak percaya terhadap hikmat yang dimiliki oleh Yesus, bukan karena status ilegitimasi kelahiran-Nya. Mereka tidak mempercayai-Nya karena mereka berpandangan “tidak ada nabi yang berasal dari Nazaret” (bnd. Yoh. 1: 46). Karena itu, frase: “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria,” merupakan sikap ketidakpercayaan mereka terhadap hikmat yang Yesus miliki sebagai anak tukang kayu, yang berasal dari Nazaret (Mrk. 6:6a).

Selain itu, Perlu diketahui, jika penyalin Alkitab mencoba menambahkan kata “anak tukang kayu” pada frase “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak ‘tukang kayu” [dan] Maria” pada penyalinan kemudian, hal ini tidak berarti penyalin Alkitab tersebut hendak menutupi sebuah skandal. Tentu saja hal ini bukanlah maksud mereka, tetapi mereka mejelaskan bahwa sebutan Yesus sebagai tukang kayu merupakan status warisan dari ayah-Nya, yang adalah tukang kayu [Bnd. Mat. 13:55 dan lihat Bruce Matzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament (United Bible Society, 1971) 88-89].


Yohanes 8:41


Selain Injil Markus, Tabor mengklaim bahwa Injil Yohanes juga menceritakan status ilegitimasi kelahiran Yesus. Benarkah demikian?

Jika kita memperhatikan catatan historis dalam Injil Yohanes, maka kita akan menjumpai bahwa aktivitas dan interaksi Yesus dengan masyarakat-Nya tidak pernah dilakukan-Nya secara tersembunyi. Ia selalu mengajar secara terbuka dan dihadapan kalayak ramai (Yoh. 6: 22-27). Bahkan seorang Farisi bernama Nikodemus mengajak-Nya bertukar pikiran dan menganggap-Nya sebagai seorang rabi (Yoh. 3:1-21). Jika rumor tentang status ilegitimasi kelahiran Yesus tersebar ke berbagai tempat dan diketahui banyak orang (seperti dugaan Tabor), maka Yesus tidak akan pernah memperlihatkan diri di depan banyak orang, apalagi seorang Farisi sudi berinteraksi dengan-Nya.

Menurut James McGrath, seorang mamzer atau anak haram tidak akan mendapat perhatian dari masyarakatnya, termasuk memperlajari Taurat (“Was Jesus Illegitimate?” 85). Demikian pula, Keluaran 23:2 menjelaskan bahwa anak haram tidak memiliki hak untuk menjadi jemaah Tuhan. Artinya, jika status kelahiran Yesus adalah seperti yang dipikirkan Tabor, maka Ia tidak akan diperbolehkan memasuki Bait Allah, menyampaikan pengajaran, dan berinterkasi dengan ahli Taurat atau orang Farisi. Namun sebaliknya, masyarakat Yahudi justru mengakui bahwa Yesus adalah seorang rabi yang mengetahui soal hukum Allah.

Perkataan “Kami tidak dilahirkan dari zinah,” meskipun mengandung unsur penyerangan balik terhadap Yesus, seakan-akan Yesus lahir dari zinah; hal ini tidak berhubungan dengan status ilegitimasi kelahiran Yesus. Sekali lagi, interaksi dan status sosial Yesus di tengah-tengah masyarakat zaman-Nya tidak mendukung hal ini. Perkataan tersebut sebenarnya bekaitan dengan status atau keistimewaan orang Yahudi di hadapan Allah, di mana mereka menganggap diri sebagi orang-orang pilihan Allah dan keturunan murni dari Abraham secara jasmani, bukan seperti orang-orang Samaria atau orang-orang yang memakai kuasa gelap. Karena itu, serangan balik tersebut lebih tepat apabila dimengerti berdasarkan kesimpulan orang Yahudi tentang Yesus setelah perdebatan yang terjadi di antara mereka, yang mengatakan: “Bukankah benar kalau kami katakan bahwa Engkau orang Samaria dan kerasukan setan?” (Yoh. 8:48).

Jadi, mereka beranggapan bahwa mereka memiliki status istimewa di hadapan Allah, sedangkan Yesus tidak berbeda dari orang-orang Samaria yang berdarah campuran (bukan Yahudi asli), meskipun Ia bukan keturunan orang Samaria. Kebencian mereka terhadap Yesus dalam kontkes ini bukan karena status ilegitimasi kelahiran-Nya, tetapi karena pengajaran-Nya yang membongkar keburukan mereka (Yoh. 8:59). Dengan kata lain, rinterpretasi historis yang dilakukan oleh Tabor tentang status ilegitimasi kelahiran Yesus adalah tidak valid. Terakhir, benarkah Matius maupun Lukas telah mengubah atau menyortir Injil Markus tentang ilegitimasi Yesus? Jawabannya tentu saja tidak!

Sebaliknya, keterangan Markus, Matius maupun Lukas saling melengkapi dan memperjelas siapa Yesus sebenarnya dan bagaimana historisitasnya. Karena itu, Injil kanonik tidak mendukung pikiran Tabor yang meragukan status kelahiran Yesus. Bahkan pemakaian materi di luar Injil Kanonik yang dilakukan oleh Tabor tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab tuduhan Celcus atau lainnya merupakan reaksi dan ketidaksenangan mereka terhadap kekristenan, bukan berdasarkan pada historisitas yang dapat dipertanggungjwabkan.



IV. KESIMPULAN


Berdasarkan status sosial dan interaksi Yesus terhadap masyarakat pada zaman-Nya, Ia bukanlah anak haram atau anak hasil perselingkuhan antara Maria dengan seorang tentara Romawi bernama Pantera (seperti tuduhan Celcus). Sebaliknya, catatan Injil Kanonik menjelaskan bahwa masyarakat mengenalnya sebagai anak Yusuf dan Maria. Andai kata benar, jika Matius atau Lukas ingin menyortir status ilegitimasi kelahiran Yesus, mereka pasti telah menceritakannya dengan cara yang berbeda. Demikian pula, andaikata benar, kisah-kisah supranatural yang melengkapi peristiwa kelahiran Yesus adalah mitos, maka hal ini tidak akan mengubah status ilegitimasi kelahiran Yesus, sebab hal ini tidak akan berpengaruh atau mengubah status sosial dan interaksi-Nya dengan masyarakat pada zaman-Nya. Sebaliknya, catatan Injil kanonik menjelaskan bahwa Yesus memiliki pergaulan yang luas, mengerti Taurat Musa, mengajar, dan berinteraksi maupun berdiskusi dengan ahli Taurat dan orang Farisi, serta memiliki murid, yang sesuangguhnya tidak mungkin terjadi atau dimiliki oleh seorang mamzer. Status sosial tersebut membuktikan bahwa dalam pemandangan masyarakat-Nya, Ia bukan anak haram. Karena itu, menurut Philip F. Esler, jika Matius mencatat Yusuf sebagai ayah-Nya (secara hukum), maka hal ini bukanlah usaha untuk mengangkat derajat Yesus, dari status ilegitimasi ke legitimasi, melainkan dari “legitimate child of David to supernatural child of God” (The First Christians in Their Social Worlds (New York: Routledge, 1994) 25). Penjelasan Esler ini sesuai atau berpadanan dengan silsilah yang dicatat oleh Lukas, yang mengakhiri silsilah tersebut dengan menempatkan Yesus sebagai Anak Allah (Luk. 3:23-38).

Dengan kata lain, Injil kanonik ingin menjelaskan kepada para pembacanya bahwa Yesus adalah penggenapan janji Allah, Yesuslah Mesias, keturunan Daud, Juruselamat dunia (bnd. Rm. 1:2). Kisah kelahiran Yesus dan peristiwa supranatural yang menyertainya bukanlah mitos, melainkan intervensi Allah dalam sejarah manusia; di mana Allah masuk dalam sejarah manusia, dan menjadi seorang manusia melalui kelahiran anak dara Maria (Luk. 1:26-38; bnd. Yoh. 1:1-3, 14). Kelahiran melalui anak dara Maria bukan untuk mengagungkan pribadi Maria, tetapi untuk menggenapkan janji-Nya terhadap imat-Nya (Mat. 1:23 bnd. Yes. 7:14; Kej. 3:15). Karena itu, interpretasi Tabor tentang status ilegitimasi kelahiran Yesus tidak dapat dikatakan valid.

Jadi, natal bukanlah sebuah skandal seksual, tetapi peristiwa supranatural yang terjadi dalam sejarah natural, sehingga natal kaya dengan makna dan arti yang mempengaruhi sejarah kehidupan manusia hingga saat ini. Natal merupakan keagungan Tuhan yang rela turun di tengah-tengah kehinaan manusia. Jika natal hanya sebuah skandal, dan pribadi Yesus sama seperti yang dipikirkan oleh Tabor (anak haram), maka mempelajari Yesus sejarah tidak ada faedahnya, sebab hal ini tidak akan memberikan nilai dan makna yang signifikan bagi kehidupan manusia.

Musik Gereja & Budaya Postmodern

Quo Vadis Hymn?

Tinjauan Kultur Terhadap Eksistensi

Musik Klasik Gerejawi di Era Postmodern




I. POSTMODERN: FENOMENA KULTURAL

YANG TIDAK DAPAT DIHINDARI


Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972. Ketika rumah Pruitt-Igoe di St. Louis sebagai lambang arsitektur modern dihancurkan, maka penghancuran tersebut menandai munculnya era baru, yaitu postmodernisme. Dengan cepat fenomena ini kemudian menjadi gerakan populer dan intelektual; menjadi sebuah karakter sosial yang terus berkembang di budaya Barat dan merasuki ranah filsafat.

Istilah “postmodernisme” sebenarnya sulit untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena makna awalan “post” pada “postmodern” masih diperdebatkan. Tokoh-tokoh postmodernisme sendiri memiliki pandangan yang berbeda-beda. Jean-Francois Lyotard berpendapat, awalan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. Bagi David Griffin, awalan tersebut berarti sekedar koreksi terhadap aspek-aspek tertentu dari kemodernan. Bagi Jacques Derrida dan Michel Foucault, berarti kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Bagi Jurgen Habermas, berarti satu tahap dari proyek modernisme yang belum selesai. Ketiadaan definisi ini justru menunjukkan ciri khas dari postmodern. Karena itu, The Modern-Day Dictionary of Received Ideas menjelaskan bahwa kata postmodern ini “tidak punya arti,” dan “gunakan saja sesering mungkin.”

Apapun definisinya (yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan), postmodern telah hadir di tengah-tengah kita. Postmodern dalam bentuk “isme”-nya merupakan kritik terhadap filosofi wawasan dunia (worldview), epistemologi, dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan dalam bentuk kultural (postmodernitas) menunjukkan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, serta usangnya penggalian nilai-nilai tradisional. Meskipun keduanya berbeda, tetapi postmodernitas atau postmodernisme seringkali dipakai bergantian, dan keduanya saling berkaitan erat.

Pada masa kini postmodern merupakan fenomena kultural yang tidak dapat kita hindari. Kita sedang menghadapi sebuah kultur yang sangat berbeda dari kultur modern. Jika dalam modernisme (pencerahan), manusia dengan rasionya dianggap mampu menemukan kebenaran, nilai, atau makna tertinggi, maka dalam postmodernisme justru sebaliknya; kebenaran, nilai, atau makna tertinggi tidak hanya diperoleh melalui rasio, tetapi juga melalui emosi atau intuisi. Demikian pula, jika modernisme mengakui adanya kebenaran dan nilai yang obyektif, yang berkorelasi dengan sebuah objek, maka postmodernisme mengakui bahwa kebenaran dan nilai dari sebuah objek bergantung pada kelompok/masa yang menilainya, bukan berkorelasi dengan objeknya. Karena itu, hal yang kita anggap baik, hal ini belum tentu baik bagi orang lain. Demikian pula, hal yang orang lain anggap salah, hal itu belum tentu salah bagi kita. Hal yang dianggap fiksi, juga dapat dianggap sebagai ilmiah, atau sebaliknya. Hilangnya perbedaan fiksi dan ilmiah ini menjadi kultur postmodern.


II. MUSIK DALAM ERA POSTMODERN


Seperti apa musik di era postmodern? Keunikan postmodern yang berbasis lokal, masa, dan populer telah menempatkan musik rock sebagai ciri khasnya. Lirik-lirik lagu rock mencerminkan semboyan budaya pop postmodernisme.

Musik rock (baik yang terkenal maupun yang biasa) sebenarnya adalah gaya musik lokal dari etnis tertentu, namun musik ini memperlihatkan pluralitas gaya masing-masing yang diambil dari gaya musik setempat (lokal). Jika musik rock mampu memperoleh banyak penggemar, hal ini disebabkan karena tokoh-tokoh musik rock seringkali melakukan tur keliling dunia. Melalui sarana produk elektronika-informatika, mereka dapat menjangkau masyarakat kelas biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media masa.

Etos postmodernisme tampaknya telah menghilangkan batasan antara seni dan kehidupan sehari-hari, antara budaya tinggi dan budaya pop, termasuk pencampuradukan gaya yang bersifat ekletik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman,” serta hilangnya orisinalitas dan kejeniusan. Seni klasik yang bermutu tinggi tidak lagi diletakkan di atas budaya pop. Dengan kata lain, lirik lagu tidak dinilai dari kualitasnya, tetapi bergantung pada selera pasar, masa, dan populer. Karena itu tidak mengherankan apabila lirik-lirik lagu pada masa kini bergantung pada penilaian dan selera masa. Lirik-lirik lagu tidak lagi diciptakan untuk mencapai sebuah seni yang tinggi, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masa. Artinya, meskipun lirik lagu tertentu tidak memiliki kualitas yang baik, namun sesuai dengan selera atau kebutuhan masa, maka lirik lagu tersebut akan memiliki masa penggemar yang banyak. Sebaliknya, meskipun sebuah lirik lagu bermutu tinggi, namun tidak cocok dengan selera masa, maka lirik lagu tersebut tidak diminati banyak penggemar. Inilah etos musik dalam era postmodern.

Bagaimana perkembangan lirik lagu rohani/gerejawi pada masa kini? Sudah tentu lagu rohani yang mengikuti etos postmodernisme cocok dengan fenomena kultur yang ada. Lagu rohani kontemporer dapat beradaptasi dalam era postmodern karena lagu tersebut berbasis kultur postmodern. Penilaian yang menekankan emosi, intuitif, populer, dan tidak harus menekankan seni musik yang tinggi, telah mendorong lagu rohani kontemporer menjawab kebutuhan kultur masa kini. Selain itu, keterlibatan tokoh, media elektronik dan informatika (TV/radio/cassette), telah mendorong lagu rohani kontemporer memiliki banyak penggemar (menarik masa).

Bagaimana respons kita terhadap fenomena kultur ini? Apakah kita akan menyesuaikan diri dan tenggelam di dalamnya; ataukah kita akan mengambil sikap konfrontasi? Atau kita mencoba mengambil sisi positif dari era postmodern ini? Hal ini tentu saja memerlukan pertimbangan teologis, filosofis dan wawasan yang lebih mendalam tentang kebudayaan manusia di hadapan Allah. Karena tulisan ini hanya sebuah refleksi atau perenungan terhadap eksistensi musik klasik gerejawi di era postmodern, maka jawaban terhadap pertanyaan di atas tidak dibahas dalam tulisan ini.



III. EKSISTENSI MUSIK KLASIK GEREJAWI

DI ERA POSTMODERN: SEBUAH PROPOSAL


Menghadapi fenomena kultur ini kita tentunya bertanya, “bagaimana eksistensi musik klasik gerejawi di tengah-tengah era postmodern?” Apakah musik klasik gerejawi akan “terkubur” oleh budaya pop postmodernisme? Apakah musik klasik gerejawi hanya akan menjadi koleksi musik yang dimiliki oleh sekelompok jemaat tertentu?

Melihat dan mencermati kultur postmodernisme pada masa kini, maka yang perlu kita lakukan untuk melestarikan eksistensi musik klasik gerejawi adalah mempopulerkannya dan menghidupkannya.


Mempopulerkan Musik Klasik Gerejawi


Kultur postmodern yang menghilangkan batasan antara seni tinggi dan budaya pop bukan berarti meniadakan seni tinggi tersebut, melainkan menerima keduanya sebagai hal yang sama. Namun mengapa musik rock lebih dominan, populer, dan menarik masa daripada musik klasik yang bermutu tinggi? Hal ini terjadi karena budaya pop postmodern telah menjangkau masyarakat kelas biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop.

Fenomena kultur ini harus kita sikapi dengan mempopulerkan musik klasik gerejawi. Jika dalam sejarahnya, musik klasik hanya mendominasi kalangan elit saja, maka pada era postmodern, musik klasik gerejawi harus mampu menjangkau semua kelas masyarakat melalui media elektronika dan informatika (TV dan radio), sehingga musik klasik gerejawi menjadi kompetitor bagi budaya pop postmodernisme, yang dapat mendatangkan apresiasi dari semua kelas masyarakat Kristen. Dengan kata lain, musik klasik gerejawi dalam era postmodern harus memunculkan dan menyatukan basis masanya.


Menghidupkan Musik Klasik Gerejawi


Selain memopulerkannya, kita harus mengetahui bahwa musik klasik gerejawi dengan mutunya yang tinggi merupakan warisan klasik (pra/modernisme) yang menekankan sisi rasionalitas, sehingga kurang menyentuh emosi atau intuisi. Namun dalam hal ini bukan berarti lagu klasik gerejawi harus menghilangkan keunikannya (rasionalitasnya), melainkan disajikan secara lebih “personal,” sehingga membangkitkan dan melibatkan kompenen pribadi seseorang yaitu emosi atau intusinya. Dengan demikian musik klasik gerejawi mendorong seseorang untuk melibatkan aspek rasio dan emosi secara seimbang. Selain itu, musik/lagu klasik gerejawi tidak seharusnya menjadi warisan yang “mandeg,” tetapi terus dihidupkan dengan munculnya komposer atau lagu-lagu rohani yang baru bercorak klasik bersifat personal, tanpa meninggalkan warisan yang sudah ada. Memang diakui bahwa tingkat kesulitan musik klasik seringkali menjadi “momok.” Namun jika musik ini mampu mendapatkan apresiasi emotif, maka kesulitan akan berubah menjadi kecintaan. Musik ini harus dihidupkan sebagai musik personal yang membangkitkan seluruh aspek pribadi seseorang untuk memberikan yang terbaik dalam menyembah Tuhan.




Bacaan lanjut:


Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: ANDI, 2005).


I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003).


Millard J. Erickson, Postmodernizing the Faith: Evangelical Responses to the Challenge of Postmodernism (Grand Rapids: Baker, 1998).


_______________ , Truth or Consequences: the Promise & Perils of Postmodernism (Downers Grove: InterVarsity, 2001).


Robert C. Greer, Mapping Postmodernism: A Survey of Christian Option (Downers Grove: InterVarsity, 2003).


Justin R. Stutz, “The Reformers and Church Musics: a Biblical Analysis of Their Philosophies,” Faith and Mission 22/3 (2005).


Mary L. Conway, “Worship Music: Maintaining Dynamic Tension,” McMaster Journal of Theology and Ministry no. 7 (2006).