Selasa, 10 Juni 2008

SEBUAH TELAAH PEMIKIRAN JOHN CALVIN TENTANG PREDESTINASI, SERTA RELEVANSI DAN APLIKASINYA PADA PENGINJILAN

Oleh: Liem Sien Liong


I. PENDAHULUAN


Dalam teologia dogmatis, pembahasan mengenai doktrin predestinasi akan selalu terkait dengan seorang tokoh reformasi, yaitu John Calvin. Berdasarkan historisitasnya, sebenarnya Calvin bukanlah pencetus pertama kali tentang doktrin predestinasi, sebab ia cukup banyak juga mengambilnya dari pemikiran Augustinus yang hidup pada abad V. Namun doktrin predestinasi tersebut menjadi semakin berkembang secara komperhensif karena tulisan-tulisan Calvin, sehingga doktrin predestinasi selalu dikaitkan dengan namanya.1 Bagi Calvin, doktrin predestinasi, meskipun sulit dimengerti dan mengandung bahaya apabila tidak dipahami berdasarkan data Alkitab, perlu juga diajarkan. Ia mengatakan, “Further, I can declare with all truth that I should never have spoken on this subject, unless the Word of God had led the way. . . .” [Lebih lanjut, saya dapat menyatakan dengan seluruh kebenaran bahwa seharusnya saya tidak pernah membicarakan subjek tersebut sebelumnya, apabila firman Allah tidak memimpin (saya) ke jalan itu].2 Karena itu, menurut Henry Cole, dalam prakata pada terjemahan buku Calvin’s Calvinism, menjelaskan bahwa sudah semestinya seseorang yang mempelajari doktrin ini harus berdasarkan sumbernya atau tulisan-tulisan Calvin sendiri.3 Artinya, kesalahmengertian terhadap doktrin predestinasi akan terjadi apabila orang tersebut tidak memahami pemikiran Calvin. Sebagai contoh kesalahmengertian terhadap doktrin ini berkaitan dengan relevansi dan aplikasinya pada misi gereja, seperti yang dikatakan oleh Paul K. Jewett: “In the opinion of many, election and preaching are mutually exclusive” [Dalam pandangan banyak orang, pemilihan dan pengijnjilan adalah sesuatu yang ekslusif satu sama lain].4 Dalam penjelasannya, Jewett juga memberikan contoh komentar John Wesley terhadap doktrin predestinasi “that were election true, preaching would be vain, for the elect will be saved anyway” [Jika doktrin pemilihan adalah benar, maka penginjilan akan menjadi sia-sia, karena mereka yang terpilih bagaimanapun akan diselamatkan].5 Lebih lanjut, Jewett memberikan kesaksian adanya kalangan yang anti terhadap misi karena perspektif mereka terhadap doktrin predestinasi dalam konteks soteriologi.

[F]or example, the Old School Baptists, sometimes called “Anti-effort” or “Anti-Mission” Baptists, who view mission societies, Sunday School, and similar institutions as human contrivance that assume that salvation depends on human effort [Sebagai contohnya, Sekolah Baptis yang terdahulu, seringkali disebut sebagai institusi Baptis yang anti kerja keras/usaha atau anti-misi, karena melihat lembaga misi, Sekolah Minggu, dan institusi-institusi yang serupa sebagai alat manusia yang mengasumsikan bahwa keselamatan bergantung pada usaha mereka].6

Dari seluruh pendapat di atas, dapat dikonklusikan bahwa ada sebagian kalangan yang meragukan keabsahan dan kekonsistenan doktrin predestinasi Calvin dalam kaitannya dengan misi gereja. Mereka berpandangan “jika Allah dalam kekekalan-Nya, telah menetapkan sebagian orang untuk diselamatkan dan sebagian tidak memperolehnya, maka mission societies adalah tindakan yang sia-sia. Di sisi lain, ada sebagian kalangan yang tampaknya memberikan penekanan pada tindakan misteri7 ketetapan Allah di dalam kekekalan-Nya, sehingga “Allah adalah penyebab segala sesuatu dan manusia hanyalah sebagai objek saja, tanpa perlu berbuat apa-apa.” Kesalahmengertian ini tentunya membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam; bahkan sejak Calvin menulis karyanya Institutio hingga abad XXI, kesalahmengertian tersebut masih saja terus terjadi.8 Persoalannya adalah: “Apakah mereka dapat mengerti dan memahami pemikiran Calvin dengan proporsional?

Tulisan ini tidak bermaksud memberikan penjelasan secara mendetail dan komprehensif tentang predestinasi, namun sebaliknya berusaha memahami pola pemikiran Calvin dan pergumulannya dalam menyusun sistem teologianya, khususnya hubungan doktrin predestinasi dengan keselamatan (soteriologi). Karena itu, pandangan Calvin tentang predestinasi, khususnya relevansi dan aplikasinya pada misi gereja. Benarkah pemikiran Calvin mengenai doktrin predestinasi bertentangan dengan misi gereja atau doktrin predestinasi kontra dengan misiologi? Apakah Calvin bukan seorang tokoh yang menghargai dan menekankan pentingnya misi?

Untuk memperjelas tulisan ini, maka penulis akan memaparkan: pertama, filosofi John Calvin tentang predestinasi, kemudian dilanjutkan dengan tinjauan teologis tentang predestinasi dalam konteks soteriologi,9 terakhir relevansi dan aplikasinya pada misi gereja serta kesimpulannya.


II. FILOSOFI JOHN CALVIN TENTANG PREDESTINASI


Menurut Wendel, sebenarnya doktrin predestinasi bukanlah pusat dari sistem teologi Calvin seperti pendapat beberapa kalangan. Hal ini tampak dari penempatan doktrin predestinasi Calvin pada bagian tertentu dalam topik besar tulisannya, seperti doktrin keselamatan dan doktrin gereja (di mana menurut Calvin, gereja sejati adalah kumpulan orang-orang yang telah dipilih oleh Allah dalam Kristus10).

Selain itu, doktrin predestinasi bukanlah “an independent doctrine.11 Hal ini berarti predestinasi harus dipahami bukan dari pengertian yang mandiri, tetapi dalam suatu rangkaian yang dimulai dari sudut tertentu. Henry Efferin berpendapat bahwa banyak kalangan dalam memahami doktrin predestinasi seringkali mengkaitkannya secara langsung dengan doktrin Allah, di mana segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah dari kekekalan-Nya.12 Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Kalvin S. Budiman yang menjelaskan bahwa apabila predestinasi dimulai dari penetapan Allah di dalam kekekalan-Nya, akan mengalami kesulitan dan dapat menimbulkan a priori atau spekulasi metafisika maupun determinisme, di mana kehendak Allah adalah penyebab segala sesuatu.13 Lebih lanjut, Efferin menjelaskan bahwa Calvin sendiri tampaknya memulai doktrin predestinasi dengan pendekatan induktif dan bukan deduktif. 14 Artinya, predestinasi harus dimengerti melalui pendekatan ordo cognoscendi (yaitu urutan secara logis atau mana yang harus diketahui terlebih dahulu) daripada menggunakan pendekatan ordo essendi (yaitu urutan secara essensi atau ontologis), meskipun kedua pendekatan tersebut tidak jauh berbeda.15 Pemahaman inilah yang tampak pada tulisan Calvin dalam Institutio:

Perjanjian kehidupan tidak sama rata dikabarkan kepada semua orang, dan pada mereka yang mendengar pekabarannya, perjanjian itu tidak selalu disambut dengan cara yang sama dan juga tidak merata. Dalam perbedaan itu kedalaman keputusan Allah yang mengagumkan menyatakan diri. Sebab tidak diragukan bahwa keaneka-ragaman [sebagian menerima Injil dan sebagian menolak] itu juga melayani [menunjukkan] pemilihan Allah yang kekal.16

Jadi, predestinasi tidak berangkat dari penyelidikan secara langsung dan rasional terhadap tindakan atau keputusan-keputusan Allah di dalam kekekalan-Nya, melainkan dimulai dari dalam atau melalui pergumulan iman dan tanda-tanda keselamatan yang dialami secara nyata oleh orang-orang percaya,17 kemudian pergumulan tersebut dilanjutkan dengan kilas balik atau refleksi terhadap respons manusia dengan penyelidikan data dari Alkitab.18 Pola inilah yang ditulis oleh Calvin;

Jadi dalam hal inipun kita tinggal dalam batas-batas yang layak, kita harus kembali [kilas balik dengan melihat] ke Firman Tuhan [Alkitab] yang mengandung pedoman yang pasti untuk pengertian kita. Sebab Alkitab itu merupakan sekolah dari Roh Kudus. Di dalamnya di satu pihak tak ada yang dilupakan dari yang perlu dan bermanfaat untuk diketahui. Maka kita harus menjaga jangan sampai orang-orang percaya dijauhkan dari segala sesuatu yang disingkapkan di dalam Alkitab tentang predestinasi.19

Efferin menambahkan, bagi Calvin, predestinasi janganlah dijadikan sebagai suatu doktrin abstrak berdasarkan atau dimulai dari penetapan Allah di dalam kekekalannya, tetapi suatu refleksi atas misteri pengalaman manusia sebagaimana terlihat dari keragaman respons manusia terhadap anugerah keselamatan (Injil Tuhan).20 Calvin menegaskan:

Janganlah kita selidiki apa yang dibiarkan Tuhan tersembunyi, dan jangan kita abaikan apa yang telah disingkapkanNya; supaya kita tidak dihukum karena dalam hal yang satu kita terlalu ingin tahu, atau dalam hal lain kita tidak bersyukur.21

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memahami doktrin predestinasi John Calvin perlu memulainya dari pergumulan dan pengalaman orang percaya atas respons mereka terhadap berita keselamatan (mengapa sebagian orang menerima dan sebagian tidak?!!), kemudian menafsirkannya berdasarkan Alkitab.

Setelah mengetahui filosofi John Calvin tentang predestinasi, maka selanjutnya perlu memahami tinjauan teologisnya tentang predestinasi dalam konteks soteriologi.



III. PEMIKIRAN TEOLOGIS JOHN CALVIN TENTANG PREDESTINASI

DALAM KONTEKS SOTERIOLOGI.



Studi tentang doktrin predestinasi merupakan suatu pergumulan bagi Calvin dalam memahami karya Allah (dalam konteks soteriologi). Hal ini tampak pada perkembangan institutio (meskipun di dalamnya tidak hanya membahas predestinasi saja), mulai dari edisi pertama tahun 1536 hingga “penyempurnaannya” terakhir pada tahun 1559.22 Namun dalam hal ini bukan berarti Calvin menjadi inkonsisten dalam ajarannya, sebab Theodore Beza, salah satu rekan dan penerusnya, memberikan kesaksian: “In the doctrine which he taught at the beginning, he remained firm to the end.23 Menurut Calvin, apa yang menyebabkan sebagian orang menerima keselamatan dan sebagian binasa adalah karena keputusan Allah untuk memberikan anugerah keselamatan kepada orang-orang pilihan-Nya dan yang lain dibiarkan-Nya.

Maka kami berkata seperti yang sudah jelas ditunjukan oleh Alkitab, yaitu bahwa dengan keputusan yang kekal dan tak berubah-ubah telah ditentukan oleh Allah orang-orang mana yang hendak diterimaNya dalam keselamatan, dan mana sebaliknya yang hendak dibiarkanNya binasa. Kami menyatakan bahwa mengenai mereka yang menjadi pilihanNya, putusan itu berdasarkan rahmatNya yang cuma-cuma . . .24

Namun demikian Calvin tidak mau berspekulasi lebih lanjut tentang mengapa, bagaimana atau seperti apa persisnya predestinasi itu terjadi dalam kekekalan.25 Ia lebih memilih untuk berhenti pada alasan-alasan yang dinyatakan oleh Alkitab tentang rahasia kekekalan Allah. Calvin berkata: “Sebaiknya kita memperhatikan sekarang apa yang dikemukakan oleh Alkitab mengenai pemilihan dan penolakan itu.”26 Dalam tafsirannya mengenai Efesus 1:5-8, Calvin memberikan penjelasan bahwa ada empat penyebab keselamatan dapat terjadi, yaitu: The efficient cause (the good pleasure of the will of God), The material cause (Christ), The final cause (the price of His grace), dan The formal cause (the preaching of the Gospel).27

THE EFFICIENT CAUSE

Pada bagian ini Calvin memberikan penjelasan bahwa, “His single motive is the eternal good pleasure, by which He predestined us. Artinya bahwa pemilihan itu tidak berdasarkan sesuatu yang lain (other causes whatsoever) dari diri Allah (misal, perbuatan baik atau kehendak manusia).28 Namun Calvin menolak gagasan bahwa Allah seolah-olah tidak adil dan bertentangan dengan diri-Nya sendiri (karena memilih sebagian dan yang lain binasa), atau tuduhan bahwa Allah menetapkan kebinasaan bagi orang-orang tertentu.29 Menurutnya, manusia sepatutnya binasa karena dosanya dan bukan karena Allah yang menetapkan manusia binasa atau Ia adalah penyebab dosa.30 Dalam tafsirannya mengenai Efesus 2:1, Calvin menegaskan:

Now of the first, we see that he [Paulus] says that they [manusa / keturunan Adam] were dead, and states at the same time the cause of death, namely, sins [dosa adalah penyebab kebinasaan manusia]. He does not mean only that they were in danger of death; but he declares that it was a real and present death by which they were overwhelmed. As spiritual death is nothing else than the alienation of the soul from God, We are all born dead, and we live dead until we are made partakers of the life of Christ . . . (John 5:25).31

Persoalannya, bagaimana dan seperti apa persisnya kehendak Allah atau “the good pleasure of the will of God,” dalam kekekalan-Nya, Calvin tidak mau ber-a priori atau berspekulasi. Ia mengatakan:

Jadi jika ditanya mengapa Tuhan telah berbuat begitu, harus dijawab: karena demikianlah kehendakNya. Tetapi kalau saudara mau maju lewat itu [mencari jawaban di luar Alkitab] dan bertanya, mengapa Ia menghendakinya, maka saudara mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada kehendak Allah, dan itu tak akan ditemukan.32

THE MATERIAL CAUSE

Menurut Calvin, the good pleasure of the will of God memang tidak dapat dipahami karena itu in Himself. Tetapi jika ingin mengetahuinya juga, alasannya tidaklah melihat pada perbuatan manusia, melainkan di dalam Kristus.

Apabila Paulus mengajarkan bahwa kita dipilih dalam Kristus sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4), maka sudah pasti tidak diperhatikan sama sekali apakah kita layak memperolehnya … Bapa di surga tidak menemukan dalam seluruh keturunan Adam sesuatu apapun yang layak bagi pilihanNya, maka pandanganNya diarahkanNya kepada KristusNya, supaya dari tubuh Kristus dipilihNya anggota-anggota untuk diterimaNya agar mendapat bagian dalam kehidupan.33

Dengan demikian, Calvin menegaskan bahwa janganlah orang percaya beranggapan bahwa pilihan Allah terhadap dirinya adalah karena perbuatan baiknya atau Allah telah melihat ia akan memilih Allah sebelumnya, melainkan kehendak Allah sendiri memilihnya di dalam Kristus.34 Lebih lanjut ia berkata:

Christ therefore is for us the bright mirror of the eternal and hidden election of God, and also the earnest and pledge. But we contemplate by faith the life which represent to us in this mirror; and by faith we lay hold on this pledge and earnest. How do we prove that some men are gratuitously elect, unless because God illumines whom will by His Spirit, so that by faith they are engrafted into the body of Christ? But divine election is the origin and cause of our faith.35

Karena itulah, Kristus adalah cermin melihat pemilihan Allah dan menjadi dasar serta jaminan keselamatan bagi orang percaya bahwa mereka akan (pasti) menerima warisan surgawi. Hal ini terjadi bukan karena perbuatan manusia, sebab perbuatan manusia tidak mampu mencapai kemuliaan sedemikian.36

THE FINAL CAUSE

Calvin, seperti Augustinus, juga sangat menekankan bahwa keselamatan adalah anugerah Allah semata dan bukan jasa karena perbuatan baik manusia. Calvin menolak bahwa kehendak manusia terlibat dalam karya keselamatan, alasannya:

. . . the will of man is not alone sufficient for us to live righteously and uprightly unless it be assisted by the mercy of God, then we might as well say it is not of God that shows mercy but of man that wills; for than the mercy of God is not alone sufficient unless the consent of our will is added. But it is manifest that our willing is vain unless God shows mercy; but I do not know how it can be said that the mercy of God is vain unless we will.”37

Dalam tafsirannya terhadap Efesus 2:8, ia menjelaskan bahwa anugerah Allah yang menyelamatkan hanya dapat terjadi dan diselami melalui iman kepada Kristus.38 Sehingga di luar Kristus tidak ada keselamatan, sebab “that righteousness comes to us from the mercy of God alone, is offer to us in Christ and by the Gospel, and received by faith alone, without the merit of works.39 Jadi, di dalam Kristus, setiap orang percaya menerima the blessing of Christ oleh karena anugerah Allah melalui iman.

THE FORMAL CAUSE

Menurut Calvin, pemberitaan Injil adalah “by which the goodness of God flows out to us.40 Namun demikian agar orang percaya dapat menerima Injil, ia menjelaskan, “the Spirit of God, who seals the truth of it in your heart.41 Alasannya bagi Calvin adalah:

[O]ur minds never become so firm that the truth of God prevails with us against all the temptations of Satan, until the Holy Spirit has confirmed us in it. The true conviction, which believers have of the Word of God, of their own salvation, of all religion, does not spring from the feeling of the flesh, or from human, and philosophical arguments, but from the sealing of the spirit, who mekes their consciences more certain and removes all doubt.42

Lebih lanjut Calvin menegaskan bahwa, “the foundation of faith would be frail and unsteady if it rested on human wisdom; and therefore, as preaching is the instrument of faith, so the Holy Spirit makes preaching efficacious.” Jadi, dapat dikonklusikan bahwa iman timbul dari pendengaran akan pemberitaan firman Tuhan (Roma 10:17), tetapi iman itu sendiri pada dasarnya bukanlah berdasarkan hikmat manusia, tetapi karya Roh Kudus yang memampukan orang (pilihan) mengerti dan menerima Injil Tuhan (istilahnya adalah: far deeper calling / internal calling / effectual calling).43

Dari keseluruhan rangkaian di atas dapat dikonklusikan bahwa pemikiran teologis John Calvin tentang predestinasi adalah sebagai berikut (penulis mencoba memahaminya dari pendekatan ordo cognoscendi atau secara induktif). Adanya sebagian orang memperoleh keselamatan dan sebagian binasa adalah; bagi yang pertama, mereka mendapatkan keselamatan karena iman kepada Kristus. Iman kepada Kristus dapat terjadi oleh karena mendengar Injil Tuhan serta melalui karya Roh Kudus (internal / effectual calling) yang memampukan orang pilihan mengerti dan menerimanya dan bukan karena hikmat manusia; kemudian adanya Injil (Kristus dan karya-Nya sebagai cermin bagi orang percaya menatapi pilihannya) serta karya Roh Kudus adalah karena tindakan mercy dan the good pleasure of the will of God, who predestined some peoples for salvation. Namun demikian, bagaimana dan seperti apa persisinya The efficient cause dan The final cause adalah misteri ketetapan Allah, karena in Himself. Sedangkan bagi yang kedua, mereka binasa (reprobasi) oleh karena tidak adanya anugerah Allah bagi mereka, serta tindakan dosa dan pemberontakan mereka terhadap Allah.




IV. RELEVANSI DAN APLIKASI DOKTRIN PREDESTINASI

PADA MISI GEREJA


Setelah memahami pemikiran filosofis-teologis John Calvin tentang predestinasi, maka pada bagian ini penulis akan membahas relevansi dan aplikasinya pada misi gereja sebagai jawaban terhadap kesalahmengertian doktrin ini.

Menurut Kalvin S. Budiman, di antara keempat macam penyebab keselamatan, efficient dan final cause adalah bagian dari misteri Allah, yang pasti terjadi, namun tidak mungkin terselami secara komprehensif. John Calvin sendiri tanpaknya memilih berhenti pada apa yang dikatakan oleh Alkitab. Karena itu, pemilihan Allah sebagai jaminan keselamatan hanya dapat dipahami melalui bagaimana anugerah pemilihan itu sampai kepada orang percaya, yaitu melalui material dan formal cause.44 Dengan demikian secara khusus formal cause (pemberitaan Injil) berkaitan dengan misi gereja.

Kesalahmengertian terhadap doktrin predestinasi seringkali terjadi karena memisahkannya dengan misi gereja. Bagi Calvin keduanya tidak dapat dipisahkan, alasannya adalah:

Pertama, sebelum menerima Injil (panggilan), kondisi orang-orang pilihan adalah sama dengan mereka yang binasa dan terpencar-pencar di padang pasir (istilah Calvin).45 Karena itu untuk mengerti efficient dan final cause (the goodness of God) flow out to us, hanya dapat dilihat secara jelas melalui formal cause.46 Dalam tafsiran Roma 10:14-17 ia mengatakan: “[T]he Gospel does not fall from the clouds like rain, by accident, but is brought by the hands of men to where God has sent it.” Artinya, pemberita Injil (misi gereja) memiliki peran sebagai instrument (alat) untuk menyatakan pemilihan Allah.

Kedua, Calvin juga menegaskan bahwa secara prinsip adanya pemilihan itu (orang percaya) tidak disebabkan oleh metode atau pemberita yang handal, melainkan berdasarkan pemilihan Allah melalui Injil dan karya Roh Kudus yang bekerja dalam orang-orang pilihan, sehingga mereka beriman. Namun bukanlah berarti metode atau pemberita yang handal tidak diperlukan, akan tetapi itupun diperintahkan oleh firman Allah (Alkitab).47 Jadi, bagi Calvin, misi gereja merupakan bagian dari sarana Allah untuk menunjukkan anugerah dan ketetapan Allah (predestinasi). Sebagai sarana, maka seseorang tidak boleh memilih-milih orang dalam memberitakan injil, tetapi Injil diberitakan kepada semua orang. Pemberitaan Injil kepada semua orang, berarti menunjukan belas kasihan Allah sehingga tampak bahwa jika bukan karena anugerah pemilihan Allah melalui iman, manusia tidak dapat selamat dari kebinasaan karena dosa. Calvin mengatakan:

Tetapi apa sebab Ia berkata: “semua orang”? Ia berkata begitu, supaya hati kecil orang-orang saleh dapat lebih tentram karena mereka mengerti bahwa tak ada sedikitpun perbedaan antara orang-orang berdosa, asal saja ada iman. Dan Ia berkata pula begitu supaya yang fasik tidak akan berdalih bahwa mereka tidak mempunyai tempat berlindung yang dapat mereka datangi bila mau meloloskan diri dari perbudakan oleh dosa . . . Oleh karena kepada kedua-duanya ditawarkan belas kasihan Tuhan melalui Injil, maka imanlah, yaitu penerangan oleh Allah, yang membedakan antara yang beriman dan yang fasik; sehingga yang pertama merasakan keampuhan Injil, yang lain sebaliknya sekali-kali tidak memetik buahnya. Penerangan itupun diatur oleh pemilihan Allah yang kekal.48



V. KESIMPULAN


Dari pemaparan di atas, maka penulis mengkonklisikan bahwa bagi Calvin, doktrin predestinasi semestinya membawa orang percaya mensyukuri akan anugerah Allah yang diberikan kepadanya melalui iman. Dan mendorong hidup takut akan Tuhan, mengasihi sesama, hidup dengan benar dan penuh kesabaran serta rendah hati.49 Berkaitan dengan misi gereja, Calvin menjelaskan bahwa doktrin ini tidak menghalangi pemberitaan Injil, namun justru menyadarkan orang percaya bahwa Amanat Agung Tuhan Yesus (Matius 28:19-20) bukanlah suatu “paksaan,” melainkan anugerah Allah bagi mereka untuk turut dalam karya agung Allah. Calvin mengatakan: “There is no preacher of the Gospel who has not been raised up by God in His special providence.50 Sebab itu, menurut Calvin, sudah semestinya orang percaya memberitakan Injil kepada semua orang sebagai kesaksian anugerah Allah.51 Hal ini sesuai dengan perkataan Paulus: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Roma 10:15).



Daftar Pustaka



Beza, Theodore. The Life of John Calvin by Theodore Beza, tr. Henry Beveridge; Philadelphia: Westminster, 1909.

Budiman, Kalvin S. “Memahami Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi” Veritas 2/2 Oktober 2001.

Calvin, John. Calvin’s New Testament Commentaries: The Epistels of Paul to The Romans and Thessalonians, tr. R. Mackenzie, ed. David W. dan Thomas F. Thorrance; Grand Rapids: Eerdmans, 1976.

Calvin, John. Calvin’s New Testament Commentaries Galatians,Ephesians,Philipians and Colossians, tr. T.H.L. Parker. ed. David W. and Thomas F. Torrace; Grand Rapids: Eerdmans, 1974.

Calvin, John. Calvin’s Calvinism: Treatises on the Eternal Predestination of God & the Secret Providence of God, originally published at Geneva A.D. 1552 tr. Henry Cole; Grand Rapids:Reformed Free, tth.

Calvin, John. Concerning the Eternal Predestination of God, tr. J.K.S. Reid; Louisville: John Knox, 1997.

Calvin, Yohanes. Institutio: Pengajaran Agama Kristen, tr. Ny. Winarsih Arifin; Jakarta: Gunung Mulia, 1983.

Efferin, Henry, “Doktrin Pilihan dari Perspektif Reformed Kontemporer,” Veritas 3/1 April 2002.

Jewett, Paul K., Election & Predestination, Grand Rapids: Eerdmans, 1985.

McNeill, John T., Calvin: On The Christian Faith. New York: Bobbs-Merill, 1957.

Spykman, J., Reformational Theology. Grand rapids: Eerdmans, 1992.

Sproul, R. C., Choosen by God. Illionis: Tyndale, 1995.

Wendel, Francois., Calvin: Origin and Development of His Religious Thought tr. Philip Mairet; Grand Rapids: Baker, 1997.


1John T. McNeill, Calvin: On The Christian Faith (New York: Bobbs-Merill, 1957) xxii. Bdk. John Calvin, Calvin’s Calvinism: Treatises on the Eternal Predestination of God & the Secrey Providence of God (originally published at Geneva A.D. 1552 tr. Henry Cole; Grand Rapids:Reformed Free, tth) khususnya The Eternal Predestination of God.

2 John Calvin, Concerning the Eternal Predestination of God (tr.JKS Reid; Louisville:John Knox, 1997) 61. Calvin pada buku III tentang predestinasi dalam perikopnya mengatakan, “Ajaran predestinasi mengandung bahaya, tetapi perlu juga dikemukakan” (Institutiio: Pengajaran Agama Kristen (tr. Ny. Winarsih Arifin; Jakarta: Gunung Mulia, 1983) III.xxi.1.

3 John Calvin, Calvin’s Calvinism 6.

4Paul K. Jewett, Election & Predestination (Grand Rapids: Eerdmans, 1985) 128.

5Ibid.

6Ibid.

7Calvin memahami bahwa doktrin predestinasi banyak mengandung misteri Allah. Apa yang Allah nyatakan dalam Firman-Nya, itulah yang semestinya diberitakan. Sedangkan yang tidak, tidak dapat diselidiki (berspekulasi). Bdk. Institutiio, III.xxi 4.

8 Penulis pernah mendapatkan pertanyaan, “apakah pemikiran predestinasi Calvin Alkitabiah dan relevan dengan misi gereja? Sebab Predestinasinya sama dengan fatalisme!” bdk. R.C Sproul, Choosen by God (Illinois: Tyndale 1995) 9-10.

9Penulis mengambil predestinasi dalam konteks soteriologi karena relevansinya pada pelayanan misi. Lihat Istitutio buku III.

10Institutio, III.xxii.1 bdk. IV.i.2.

11Francois Wendel, Calvin: Origin and Development of His Religious Thought (tr. Philip Mairet; Grand Rapids: Baker, 1997) 263-265.

12“Doktrin Pilihan dari Perspektif Reformed Kontemporer” Veritas 3/ I (April 2002) 17.

13“Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan vol.. 2 no. 2 (Oktober 2001) 165.

14 “Doktrin Pilihan” 17.

15 “Memahami Ulang,” 165.

16 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen (tr. Ny. Winarsih Arifin; Jakarta: Gunung Mulia, 1983) III.xxi.1 (Kalimat italik dan dalam kurung adalah penekanan dan tambahan dari penulis).

17 “Memahami Ulang,” 165.

18 “Doktrin Pilihan,” 17. (untuk lebih mngetahui doktrin predestinasi dalam sistem teologi Calvin, lih. J. Spykman, Reformational Theology (Grand rapids: Eerdmans, 1992) 507-512.

19 Institutio, III.xxi.3. (Kalimat italik adalah penekanan penulis).

20 “Doktrin Pilihan,” 17.

21 Institutio, III.xxi.4.

22 Lihat Wendel, Calvin: Origin and development, 265-269

23 Theodore Beza, The Life of John Calvin by Theodore Beza (tr. Henry Beveridge;Philadelphia: Westminster, 1909) 12.

24 Institutio, III.xxi.7.

25 “Memahami Ulang,” 169.

26 Institutio, III.xxii.1.

27 Calvin’s New Testament Commentaries: Galatians,Ephesians,Philipians and Colossians (tr. T.H.L. Parker [ed. David W. and Thomas F. Torrace]; Grand Rapids: Eerdmans, 1974) 126-128.

28 Calvin’s Calvinism, 45.

29Instiitutio, III.xxii.10-III.xxiii.2.

30Ibid. III.xxii. 6-9

31 Calvin’s New Testament Commentaries: Galatians,Ephesians,Philipians and Colossians (tr. T.H.L. Parker [ed. David W. and Thomas F. Torrace]; Grand Rapids: Eerdmans, 1974) 139 (kalimat tegak dan kalimat dalam kurung adalah penekanan penulis).

32Institutio, III.xxiii.2. (kalimat italik penekanan penulis).

33Ibid. III.xxii.1. (kalimat italik penekanan penulis.)

34Calvin’s New Testament Commentaries: Galatians,Ephesians,Philipians and Colossians, 125.

35John Calvin, Concerning the Eternal Predestination of God (tr. J.K.S Reid; louisville: John Knox, 1997) 127. bdk. Institutio, III.xxii.3.

36Institutio, III.xxii.1.

37John Calvin, Concerning the Eternal Predestination of God 142.

38Calvin’s New Testament Commentaries: Galatians, Ephesians, Philipians and Colossians, 144.

39Ibid.

40Calvin’s New Testament Commentaries: Galatians,Ephesians,Philipians and Colossians, 128.

41Ibid. 131

42Ibid.

43Calvin’s Calvinism, 181.

44 “Memahami Ulang” 168.

45Institutio, III.xxiv.10.

46Calvin’s New Testament Commentaries: The Epistles of Paul to the Romans and Thessalonians (tr. R.Mackenzie [ed. David W. and Thomas F. Torrance]; Grands Rapid: Eerdmans, 1976) 230. Bdk. Institutio III.xxiv.3 dan III.xxiv.7.

47Ibid. 232-233.

48Institutio, III.xxiv.17.

49Calvin’s Calvinism, 346.

50Calvin’s New Testament Commentaries: Romans, 231.

51Calvin’s Calvinism, 346.