Sabtu, 07 Juni 2008

Teologia Paulus

Sebuah Analisa Pemikiran Paulus

Tentang Teologi Mutualitas Sebagai Implementasi Hukum Kristus Berdasarkan Galatia 6:1-5,

Serta Relevansinya Bagi Kehidupan Jemaat Tuhan Pada Masa Kini

Oleh: Ev. Liem Sien Liong



PENDAHULUAN


Charles R. Swindoll, dalam bukunya yang berjudul “Improving Your Serve” (Bandung: Pioner Jaya, 2005:15-16), memaparkan bahwa berdasarkan riset tentang mental health (kesehatan mental) yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health terhadap koloni tikus telah membuktikan bahwa koloni tikus yang enggan hidup bermutual telah berimplikasi buruk terhadap kelangsungan hidup mereka. Riset tersebut dilakukan sebagai berikut: 8 ekor tikus dimasukkan ke dalam kandang berukuran 9 kaki (3.15 M) persegi. Kemudian selama 2.5 tahun koloni tikus tersebut berkembang biak menjadi 2200 ekor. Makanan yang melimpah, air, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya terus menerus disediakan, bahkan semua faktor mortalitas (kecuali proses penuaan) telah dihilangkan dari koloni tikus tersebut. Namun apa yang terjadi setelah 2,5 tahun berikutkannya? Ternyata semua tikus mati. Apakah penyebabnya?

Pertama, tikus-tikus dewasa mulai mengelompokkan diri sebanyak dua belas tikus dalam kelompoknya. Kedua, dalam kelompok tersebut, fungsi sosial masing-masing tikus mengalami penyimpangan. Ketiga, tikus jantan yang biasanya menjadi pelindung wilayah mereka, kini menarik diri dari kepemimpinan dan secara tidak wajar menjadi pasif. Keempat, tikus-tikus muda merasa diri mereka tidak memiliki tempat di dalam masyarakat, dan mereka semakin memanjakan diri. Mereka makan, minum, tidur dan mengurus diri sendiri, tetapi tidak memiliki ketegasan sebagaimana biasanya. Kelima, koloni tikus pada akhirnya menjadi kacau, dan setelah lima tahun berlalu, sekalipun tidak ada penyakit, bahkan tersedia banyak makanan, minuman, dan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, namun semua tikus mati.

Dari hasil riset tersebut Swindoll mengkonklusikan bahwa hal serupa sebenarnya sedang terjadi di dunia kita sekarang. Masyarakat dunia telah menjadi suatu institusi yang besar dan sibuk, namun di dalamnya tidak terdapat kepedulian antara yang satu dengan lainnya. Masing-masing menjadi orang asing bagi sesamanya; bahkan sekalipun kita berada di antara keramaian, tetapi kita merasa kesepian. Kita bergerak maju bersama, namun kita tidak saling berhubungan. Tampaknya perihal saling memperhatikan dan berbagi kini bukan zamannya lagi. Sebaliknya, yang tersisa dari zaman ini hanyalah sikap saling menumpuk kekayaan dan saling pamer (menyombongkan diri).

Demikian pula, kita menempati ruang yang sama, tetapi kita tidak memiliki kepentingan yang sama. Orang menyaksikan secara langsung kejahatan terjadi di depan mata mereka, namun mereka tidak mau turun tangan dan terlibat; bahkan nilai-nilai dasar iman kristiani mulai hilang di tengah-tengah zaman yang membingungkan ini. Jika penilaian Swindoll ini benar, maka pertanyaan yang perlu kita renungkan sebagai jemaat Tuhan adalah: “Apakah nilai-nilai kasih, kerukunan, dan kepedulian masih kita miliki?

Penulis tidak serta merta bermaksud menyamakan koloni tikus dengan kehidupan sosial manusia. Namun demikian, riset yang telah dilakukan oleh National Institute of Mental Health (USA) dapat memberikan inspirasi kepada kita. Bagaimanakah seharusnya kita mengaktualisasikan kehidupan kita sebagai koloni Kristen, yang notabene adalah ciptaan baru di dalam Kristus?



PEMIKIRAN PAULUS TENTANG MUTUALITAS

BERDASARKAN GALATIA 6:1-5



JEMAAT GALATIA DAN PROBLEMATIKANYA

Paulus berkata:

Saudara-saudara, kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan. Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal sama sekali ia tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri. Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain. Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri (Gal. 6:1-5).


Jika kita memperhatikan perkataan Paulus di atas, maka kita akan mengkonklusikan bahwa ia adalah sosok pribadi yang sangat memperhatikan tata kehidupan jemaat Tuhan. Ia bukan hanya mengajarkan doktrin iman Kristen, tetapi juga mengajarkan bagaimana pola hidup jemaat Tuhan. Salah satunya adalah pola hidup bermutual dalam Galatia 6:1-10. Namun untuk membatasi pembahasan ini, maka penulis hanya memfokuskan diri pada ayat 1-5, yaitu “hidup bermutual sebagai bagian dari implementasi hukum Kristus dalam berbagi beban (masalah).”

Paulus tampaknya menyadari bahwa setiap orang percaya yang hidup baru dalam Kristus tetap diperhadapkan dengan pertentangan antara hidup menuruti keinginan daging atau dipimpin oleh Roh Kudus (Gal. 5:16-26). Implikasi pertentangan tersebut tentunya menegaskan bahwa orang percaya dapat saja terperosok dalam tipu daya dosa (ay.1).

William Barclay menjelaskan bahwa kata “pelanggaran” (Yun. paraptoma) dalam ayat 1, bukanlah berarti dosa yang disengaja, melainkan ketergelinciran yang dapat saja dialami oleh seseorang di jalan yang licin atau lorong berbahaya yang dilaluinya (Surat-Surat Galatia & Efesus [Jakarta: Gunung Mulia, 2004] 84). Herman Ridderbos juga berpendapat bahwa kata paraptoma mengandung dosa, tetapi dosa yang tidak di sadari oleh seseorang (The Epistle of Paul to the Church of Galatians [NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1970] 212). Dosa apa itu? Hal ini tidak jelas; namun pelanggaran ini dapat saja mengakibatkan ketidaksetiaan seseorang terhadap injil (lih. Richard N. Longnecker, Galatians [WBC; Dallas: Word Book, 1990] 273). Karena itu bagi Paulus, perhatian yang lebih serius dalam jemaat atau gereja Tuhan di Galatia bukan terletak pada ada tidaknya atau berapa jumlah orang yang telah tertipu oleh dosa (jatuh dalam dosa), melainkan pada aktualisasi kehidupan baru dalam komunitas jemaat Tuhan yang mengimplementasikan hukum Kristus (ay. 2).

Dalam bahasa aslinya ayat 2 di awali dengan kata “saling” [Yun. “allelon”], sehingga terjemahannya adalah: “saling bertolong-tolonglah menanggung bebanmu!” Menurut Longnecker, kata “saling” yang diletakkan Paulus pada awal kalimat menunjukkan sesuatu yang ditekankan dan penting. Karena itu ia berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan: “Central to the believers’ new existence in Christ is the concept of mutuality” (Galatians 274). Barclay juga menjelaskan bahwa mutualitas sangat penting bagi jemaat Tuhan di Galatia karena persoalan serius yang dihadapi oleh mereka adalah adanya sikap acuh tak acuh yang membahayakan persekutuan mereka (Surat-surat Galatia 84). Itulah sebabnya, Paulus menekankan agar mereka saling tolong menolong, bukan membanggakan diri yang disertai sikap tidak peduli terhadap saudara seiman. Sedangkan kata “memenuhi (Yun. “anaplerosete”) hukum Kristus” (ay. 2) merupakan kata yang tegas, sehingga tuntutan untuk mengimplementasikan hukum Kristus adalah suatu sasaran yang harus dicapai oleh jemaat Tuhan dalam kehidupan mereka (Leon Morris, Galatians: Paul’s Character of Christian in Freedom [Downers Grove: Intervarsity, 1996] 178). Jika demikian apakah hukum Kristus itu?

Paulus tidak menjelaskan secara terperinci tentang hukum Kristus. L. Morris berpendapat, hukum Kristus itu menunjuk pada ajaran Yesus dalam Matius 20:25-25 dan Yohanes 13:34, yakni “hukum melayani” (Galatians: Paul’s Character of Christian in Freedom 179). Longnecker berpendapat, hukum Kristus mengacu pada Galatia 5:13-6:10, sebagai kontra legalistik (hukum) Taurat (Galatians 275). John R. Stott berpendapat, hukum Kristus mengacu pada sikap saling mengasihi terhadap sesama manusia, seperti yang tertuang dalam Galatia 5:13; Yohanes 13:34 (The Message of Galatians [London: Intervarsity, 1968] 158). Sedangkan C. K. Barrett berpendapat bahwa hukum Kristus tidak dapat dipisahkan dari hukum kasih dalam Galatia 5:13 (Freedom and Obligation: A Study of the Epistle to the Galatians [London: SPCK, 1985] 83). Dari beberapa pendapat para sarjana tersebut dapat dikonklusikan bahwa meskipun Paulus tidak merincikan secara teknikal hukum Kristus, tetapi ajaran Kristus, yakni hukum Kasih, diidentik dengan hukum Kristus (Gal. 5:13). Jadi, hukum Kristus adalah hukum kasih; dan hukum ini menjadi acuan dalam kehidupan bersama koloni Kristen Galatia. Bagaimana mereka mengimplementasikannya?

Paulus menasihatkan agar mereka mengembangkan pola hidup bermutual di antara mereka sebagai bagian dari implementasi hukum Kristus (ay. 2). Mengapa mutualitas menjadi unsur penting dalam membangun koloni orang beriman dalam mengimplementasikan hukum Kristus? Jawabnya adalah karena tidak ada satu orangpun yang imun terhadap tipu daya dosa (ay. 1). Artinya, setiap orang memerlukan orang lain untuk saling menolong dalam berbagi beban. Oleh karena hal tersebutlah, maka mutualitas harus dimengerti oleh jemaat Tuhan di Galatia. Apa itu teologi mutualitas menurut Paulus?

Dasar pemikiran Paulus tentang mutualitas tentu saja berkaitan dengan hukum kasih Kristus (ay. 2), yakni sebagaimana Kristus telah merelakan diri-Nya disalib demi keselamatan jemaat Galatia dan kelepasan mereka dari perbudakan dosa maupun hukum taurat, maka hal ini adalah sesuatu yang reasonable apabila mereka hidup sama seperti yang Kristus telah perbuat bagi mereka (bdk. Rm. 15:1-5; Fl. 2:1-11). Artinya, mereka wajib saling tolong menolong dalam menanggung beban. Di sini mutualitas berarti a reciprocal Christian Relationships (suatu relasi timbal balik yang bersifat Kristiani).


MUTUALITAS BUKAN NARSISME

Berdasarkan nasihat Paulus kepada jemaat Tuhan di Galatia, unsur penting dalam mutualitas adalah adanya sikap mutual (saling) yang harus dikembangkan dalam pola hidup mereka. Pola ini bukan hanya sebagai wacana dalam pemikiran mereka, tetapi sebagai komitmen dan sikap yang harus diimplementasikan dalam tata kehidupan mereka. Ini berarti mutualitas menolak keegoisan atau kontra narsisisme (Gal. 6:1).

Paulus tampaknya memperhatikan bahwa persoalan narsisme, yaitu mementingkan diri dan menilai diri sendiri lebih baik daripada orang lain, menjadi hambatan bagi jemaat Tuhan untuk mengaktualisasikan hukum Kristus. Mereka yang bersikap narsis lebih cenderung memperhatikan diri sendiri dan kurang peduli terhadap kelemahan atau beban orang lain. Kencendurungan ini tentu saja berimplikasi buruk pada pertumbuhan sosio-religius koloni jemaat Tuhan di Galatia. Akibatnya, muncullah persaingan yang tidak sehat di antara mereka, sehingga hal ini mengancam kesatuan jemaat Tuhan (Gal. 5:15, 26).

Berdasarkan kondisi ini, Paulus memperhatikan bahwa persoalan yang dihadapi jemaat Tuhan di Galatia bukan saja berasal dari luar koloni (seperti Yudaisme), tetapi juga dari dalam koloni itu sendiri. Di dalam koloni mereka terdapat sejumlah orang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, sehingga mereka lebih suka membanggakan diri sendiri daripada berusaha menolong orang lain. Jika kondisi ini tidak diperhatikan secara serius oleh jemaat Tuhan, maka “kehancuran” koloni tidak dapat dielakkan lagi. Paulus sangat mengerti kondisi ini. Karena itu, ia menasihatkan supaya setiap jemaat Tuhan tidak mengutamakan kepentingan dan keegoisan diri sendiri, melainkan hidup dalam mutualitas. Hidup yang bermutual mendorong seseorang untuk berbagi dengan sesamanya, tanpa adanya tendensi diri untuk mencari keuntungan atau pujian. Di sini mutualitas menekankan sikap rela berkorban demi kebaikan dan kemajuan orang lain.


Paulus mengatakan:

Saudara-saudara, kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan” (Gal. 6:1).


Kata “memimpin” (Yun. “Katartizo”) dalam kalimat di atas memiliki arti “usaha atau tindakan seseorang guna mereparasi sesuatu, supaya sesuatu itu dapat kembali menjadi seperti semula” (Longnecker 273); atau seperti “seorang ahli bedah yang sedang menyambung bagian tubuh yang patah supaya bagian tubuh tersebut kembali seperti kondisi semula” (Barclay 84). Jika kita memperhatikan nasihat Paulus tersebut, maka kita akan mengerti bahwa tujuannya menggunakan kata “Katartizo” tersebut supaya setiap jemaat Tuhan tidak mementingkan atau mengutamakan dirinya sendiri, melainkan rela meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk menolong (merestorasi) kelemahan/beban orang lain demi kebaikan dan kemajuannya.

Demikian pula kata “Katartizo” yang dipakai oleh Paulus berbentuk present active imperative (“Katartizete”), yang berarti bahwa kata tersebut menjelaskan tentang usaha merestorasi atau menolong orang lain (saudara seiman) adalah suatu perintah yang harus dilakukan oleh orang percaya, tanpa adanya peluang untuk memilih dalam pelaksanaannya. Artinya, tindakan merestorasi tersebut tidak berdasarkan pada suatu pilihan (selera) atau adanya unsur balas jasa antara yang tertolong dan si-penolong. Sebaliknya, tindakan merestorasi tersebut dilakukan bagi semua saudara seiman. Tindakan merestorasi tersebut dilakukan berdasarkan hukum kasih Kristus (ay. 2), yaitu sebagaimana Kristus telah memberikan nyawanya demi keselamatan jemaat-Nya, maka setiap jemaat-Nya wajib saling tolong menolong. Jadi, tindakan merestorasi orang lain (saudara seiman) merupakan tugas yang bersifat wajib bagi setiap jemaat Tuhan. Tindakan tersebut dilakukan demi kebaikan dan demi kemajuan rohani orang lain (saudara seiman).

Selain itu, Paulus juga mengingatkan kepada mereka bahwa tugas merestorasi tersebut tidak dilakukan dengan ceroboh, melainkan harus diikuti dengan sikap lemah lembut, berorientasi pada kebenaran dan menjaga diri sendiri supaya tidak jatuh dalam pencobaan (ay. 1). Paulus perlu menyertakan nasihat ini karena mereka yang menolong orang lainpun tidak luput dari tipu daya dosa, yaitu kesombongan atau membanggakan diri sendiri (bdk. ay. 3). Apabila mereka tidak menjaga diri untuk tetap dalam kasih Kristus, maka orientasi menolong atau merestorasi kelemahan saudara seiman bukan memimpinnya kepada kebenaran, tetapi pada pemujaan diri si-penolong (man glorification oriented, not truth obedience oriented). Karena itu, Paulus menasihatkan agar mereka memiliki sikap lemah lembut, berorientasi pada kebenaran, dan menjaga diri sendiri supaya mereka tidak jatuh dalam pencobaan. Dengan kata lain, sikap tersebut adalah warning yang perlu diperhatikan secara serius.


MUTUALITAS BERSIFAT KONSTRUKTIF, BUKAN DESTRUKTIF

Selain sikap mutual yang menjadi perhatian Paulus dalam membangun tata kehidupan jemaat Tuhan di Galatia, sikap konstruktif juga menjadi penekanannya. Kata “Katartizo” yang digunakan oleh Paulus tidak saja mengandung arti “memperbaiki,” atau “memimpin,” tetapi juga menekankan suasana tidak menghakimi (Barclay, 84). Di sini Paulus menyadari bahwa kelemahan atau kejatuhan seseorang dalam dosa akan memunculkan “penghakiman” atau penilaian yang buruk terhadap diri orang yang bersangkutan. Kecenderungan ini muncul karena adanya sekelompok jemaat Tuhan yang seringkali beranggapan bahwa dirinya lebih berarti daripada orang lain (bdk. ay. 3). Akibatnya, perselisihan dan persaingan yang tidak sehat tidak dapat dihindarkan dari koloni jemaat Tuhan. Mereka saling menantang dan mendengki antara yang satu dengan yang lainnya (Gal. 5:26).

Sikap membanggakan diri sendiri merupakan awal dari munculnya “penghakiman” atau penilaian yang buruk terhadap orang lain. Ini berarti penilaian terhadap diri sendiri akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap orang lain (John stott, The Message of Galatians, 159). Paulus tentu saja tidak melarang seseorang “berbangga” terhadap hasil kerjanya (ay. 4), tetapi kebanggaan diri yang tidak menyadari akan anugerah Allah di dalamnya dan “membanggakannya” di atas kelemahan orang lain, akan menimbulkan sikap arogansi yang pada akhirnya merusak koloni jemaat Tuhan (lih. Ridderbos, 214). Paulus tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi di tengah-tengah jemaat Tuhan. Ia mengharapkan bahwa sebagai koloni jemaat Tuhan, kebanggaan terhadap hasil kerja atau diri sendiri bukanlah prioritas utama jemaat Tuhan. Sebaliknya, sikap yang bersedia menolong orang lain demi kemajuan dan kebaikannya merupakan esensi dari aktualisasi hukum Kristus.

Selain itu, perkataan Paulus: “Apabila seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan” (ay. 1), mengandung pengertian yang sangat signifikan bagi aktualisasi hukum Kristus. Dalam kalimat ini, frase “kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar” mengindikasikan bahwa usaha seseorang untuk menolong orang lain harus dilakukan dengan motif, cara, dan tujuan yang benar.


Motif Yang Benar

Pemakaian kata “kamu yang rohani” (humeis hoi pneumatikoi) oleh Paulus seringkali oleh beberapa sarjana dimengerti sebagai nasihat yang mengandung suatu ironi (lih. Barrett, 79; Longnecker, 273). Namun apabila hal ini diperbandingkan dengan adanya kesejajaran pemakaian kata “dipimpin oleh Roh” atau “menerima Roh” karena mereka percaya kepada Yesus Kristus, maka kata tersebut sebenarnya menjelaskan tentang status dan fungsional orang percaya, yaitu manusia rohani yang dipimpin oleh Roh Kudus dan hidup sesuai dengan statusnya (Longnecker, 273). Ini berarti kata “kamu yang rohani” menjelaskan bahwa motif yang mendorong seseorang untuk menolong orang lain bukan karena ia lebih baik atau lebih berarti daripada orang tersebut, melainkan karena status dan fungsionalnya sebagai orang percaya. Dengan kata lain, setiap orang percaya ( yaitu mereka yang telah hidup baru dalam Kristus serta hidup di bawah pimpinan Roh Kudus) wajib peduli dan menolong saudaranya yang berbeban. Kewajiban ini mempertegas bahwa setiap jemaat Tuhan ketika menolong sesamanya harus didasarkan pada motif yang benar, yaitu menolong adalah bagian dari aktualisasi status dan fungsionalnya sebagai anggota tubuh Kristus (bdk. 1Kor. 3:1; Alan Cole, Galatians [TNTC; Grand Rapids: Eerdmans, 1989] 224-225; Ridderbos, 212).


Cara Yang Benar

Selain menjelaskan tentang motif yang benar, Paulus menegaskan bahwa monolong beban saudara seiman harus dilakukan dengan cara yang benar. Kata “harus memimpin” (katartizete) yang mengandung arti “memperbaiki” mengindikasikan bahwa beban atau masalah yang dialami oleh saudara seiman perlu diselesaikan atau dicarikan way out-nya; dan beban tersebut menjadi fokusnya. Artinya, beban atau permasalahan yang dialami oleh seseorang harus dipecahkan, dan bukan “memecahkan” pribadinya.

Paulus tampaknya menyadari bahwa sikap seseorang yang menilai dirinya lebih baik dari orang lain akan memunculkan persaingan yang tidak membangun iman. Kondisi seperti ini ternyata telah merasuki jemaat Tuhan di Galatia (Gal. 5:15). Mereka tidak memecahkan masalah atau beban yang dihadapi oleh saudara seiman, tetapi sebaliknya mereka justru “memecahkan” perasaan dan pribadi saudaranya. Karena itu, penggunaan kata “Katartizete” oleh Paulus menegaskan bahwa suatu tindakan menolong atau memperbaiki harus dilakukan dengan cara yang benar, yaitu mencari pemecahan masalah atau beban, dan bukan “memecahkan” (merusak, menjatuhkan, atau memanipulasi) pribadi yang bersangkutan.


Tujuan Yang Benar

Selain motif dan cara yang benar, Paulus menghendaki bahwa usaha menolong orang lain harus dilandaskan pada tujuan yang benar. Dalam terjemahan LAI, kata “Katartizete” diterjemahkan menjadi “harus memimpin . . . [orang itu] . . . ke jalan yang benar” (ay. 1). Kata “ke jalan yang benar” dalam teks aslinya (bhs Yun.) tidak ada. Namun demikian penambahan kata tersebut sebagai suatu penjelasan memberikan signifikansi terhadap “tujuan memimpin.” Hal ini mengindikasikan bahwa kata “katartizete” tidak hanya menjelaskan tentang menolong dengan cara yang benar, tetapi juga menegaskan bahwa seseorang harus menolong orang lain dengan tujuan yang banar.

Paulus tampaknya menyadari adanya beberapa jemaat Tuhan yang kemungkinan telah terpengaruh oleh ajaran yang tidak sehat. Mereka cenderung menolong seseorang demi keuntungan diri sendiri. Mereka tampak “menolong” saudara seiman, tetapi sebenarnya mereka hanya mencari pujian dan keuntungan bagi diri sendiri (bdk. Gal. 6:13). Hal ini tentu saja tidak dikehendaki oleh Paulus. Karena itu, ia menasihatkan bahwa usaha menolong beban atau permasalahan orang lain harus didasarkan pada tujuan yang benar, yaitu demi kebaikan dan kemajuannya, bukan untuk mencari pujian atau keuntungan bagi diri sendiri (self glorification).

Dari deskripsi di atas dapat dikonklusikan bahwa mutualitas yang dikehendaki oleh Paulus dalam kehidupan mereka adalah bersifat konstruktif, di mana seseorang menolong saudara seiman tidak berdasarkan pada pamrih atau tendensi diri untuk mencari pujian dan keuntungan pribadi. Sebaliknya, seseorang menolong saudara seimannya didasarkan pada status dan fungsionalnya sebagai pribadi yang telah “hidup baru di dalam Kristus” dan “hidup di bawah pimpinan Roh Kudus.” Dengan kata lain, menolong atau merestorasi kelemahan dan beban saudara seiman adalah tugas dan kewajiban yang harus dilakukan sebagai bagian dari aktualisasi hukum Kristus. Tugas dan kewajiban ini dilakukan demi kebaikan dan kemajuan saudara seiman, dan bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan diri sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa constructive personal oriented menjadi ciri yang unik dari mutualitas Paulus.


MUTUALITAS ADALAH KEREKANAN, BUKAN DESKRIMINATIF

Terakhir, menurut Paulus mutualitas harus diikuti dengan pola partnership (kerekanan). Artinya, mutualitas tidak bersifat diskriminatif, melainkan bersifat kebersamaan dan kontributif (Gal. 6: 3-4; bdk. Gal. 5:26). Mutualitas mendorong seseorang untuk tidak mengenakan superioritas dan inferioritas dalam hubungannya dengan orang lain. John Stott mengatakan: “Human friendship, in which we bear one another’s burdens, is part of the purpose of God for His people” (The Message of Galatians, 158). Perkataan Stott tersebut menegaskan mutualitas yang bersifat kerekanan atau friendship, bukan deskriminatif.

Paulus tentu saja tidak mengabaikan jabatan struktural dalam berjemaat sebagai bagian dari tuntutan oraganisasi. Namun demikian, jabatan struktural tidak dimaksudkan untuk menjadikan seseorang berbangga diri dan merendahkan atau mendeskreditkan orang lain. Sebaliknya, jabatan struktural menjelaskan status dan fungsi tugas yang dipakai (secara organisatoris) untuk melayani dan menolong orang lain (bdk. Mat. 20:25-28; Mrk. 10:45; Fl. 2:19-25). Ini berarti status dan fungsional orang percaya (lih. bagian atas) lebih diutamakan untuk menata kehidupan jemaat Tuhan daripada berbangga diri karena jabatan strukturalnya. Mengapa Paulus menekankan kerekanan dalam teologi mutualitasnya?


Paulus mengatakan:

. . . kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar . . . (ay.1). Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (ay. 2). . . . Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri (ay. 5).


Alasan Paulus menekankan perlunya kerekanan dan menolak diskriminatif adalah: pertama, kata “seseorang” (Yun. anthropos) yang dipakai oleh Paulus dalam tulisannya (ay. 1) tidak menggunakan definite article. Hal ini menjelaskan bahwa setiap orang percaya memiliki potensi untuk jatuh dalam kesalahan/dosa karena kelemahannya. Kedua, perkataan Paulus di atas (ay.2) mengindikasikan bahwa setiap orang percaya, termasuk mereka yang memiliki jabatan struktural dalam gereja maupun jemaat awam, adalah anggota tubuh Kristus yang memiliki status dan fungsional yang sama dalam melaksanakan hukum Kristus (Barrett, 81-82). Di sini frase “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu” (ay. 2), dan frase “tiap-tiap orang memikul tanggungannya sendiri” (ay. 5), bukanlah dua frase yang berkontradiksi (Ridderbos 214). Sebaliknya, keduanya memperjelas nasihat Paulus bahwa setiap jemaat Tuhan adalah partner (rekan) bagi saudara seimannya, sebab tidak ada seorangpun yang imun terhadap kelemahan atau dosa. Benarkah setiap orang percaya adalah partner bagi saudaranya? Apakah hal ini membuktikan bahwa Paulus sangat menekankan kerekanan dalam kehidupan mereka?

Paulus menggunakan dua kata yang berbeda dalam ayat 2 dan ayat 5, tetapi ada kalanya keduanya diterjemahkan dengan kata yang sama yaitu “beban,” yang dalam bahasa inggris memakai kata “burden” (lih. KJV). Kata “beban” (ay. 2) dalam bahasa aslinya memakai kata “baros,” sedangkan kata “tanggungan” (ay. 5) dalam bahasa aslinya memakai kata “phortion.” Jika kita memperhatikan pemikiran Paulus, maka kedua kata Yunani tersebut dapat saja diterjemahkan dengan kata yang sama, yaitu beban (KJV. burden). Namun jika kita memperhatikan konteks nasihatnya, maka kedua kata tersebut memiliki perbedaan deskripsi. Artinya, meskipun keduanya menjelaskan posisi yang sama, tetapi memiliki keterangan konteks yang berbeda.

Kata “baros” dalam ay. 2 yang diterjemahkan dengan “beban” (LAI) lebih mengandung arti “bobot” beban atau masalah, sedangkan kata “phortion,” meskipun berkaitan dengan beban (LAI, tanggungan), namun kata tersebut lebih mengandung arti “kapasitas” seseorang dalam menanggung beban. Itulah sebabnya ay. 2 dan 5 tidak berkontradiksi, melainkan memperjelas pemikiran Paulus bahwa partnership sangat penting dalam kehidupan bersama, sehingga mereka dapat saling tolong menolong dalam menanggung beban (lih. Ridderbos, 215; bdk. R. Alan Cole, 227).

Jika analisis ini benar, maka kedua ayat tersebut dapat dikonklusikan sebagai berikut: setiap orang pasti memiliki kapasitas atau kemampuan untuk menanggung bebannya sendiri. Namun pada tingkatan tertentu beban dirinya sendiri tidak dapat ditanggungnya lagi; karena ia hanya memiliki suatu ukuran atau porsi (phortion) tertentu dalam menanggung bebannya. Ini berarti setiap orang memiliki kapasitas beban yang dapat ditanggungnya sendiri (ay. 5). Namun karena tingkatan porsinya terbatas, maka setiap orang harus saling tolong menolong dalam menanggung bebannya.

Dengan kata lain, kerekanan (partnership) dalam teologi mutualitas Paulus lebih menekankan unsur kontributif (kontra destruktif) demi kebaikan dan kemajuan saudara seiman. Kerekanan tersebut tidak didasarkan pada hubungan superioritas inferioritas, atau senioritasyunioritas, melainkan pada: pertama, adanya kesadaran bahwa diri sendiri memiliki keterbatasan dan kelemahan yang perlu ditolong oleh orang lain. Kedua, adanya kesediaan atau keterbukaan diri untuk menerima saran dan nasihat dari orang lain. Ketiga, adanya kerelaan menolong orang lain tanpa pamrih. Keempat, kerekanan dilakukan dengan motif, cara dan tujuan yang benar.

Dari seluruh deskripsi pemikiran Paulus di atas dapat dikonklusikan bahwa teologi mutualitas adalah teologi praktis tentang tata kehidupan jemaat Tuhan di mana di dalamnya setiap individu mengaktualisasikan kasih Kristus (hukum Kristus) melalui kerjasama saling membangun dan menolong dalam iman antara yang satu dengan lainnya, tanpa mencari kesalahan orang lain, menghakimi atau mencari pujian bagi diri sendiri.


RELEVANSI TEOLOGI MUTUALITAS PAULUS BAGI KEHIDUPAN

JEMAAT TUHAN PADA MASA KINI


Setelah kita memahami teologi mutualitas Paulus dalam surat Galatia 6:1-5, apakah yang perlu kita pikirkan dan lakukan dalam relasi kita dengan saudara seiman? Jika kita mengerti nasihat Paulus tersebut, maka kita akan mengetahui bahwa hidup bermutual merupakan salah satu keunikan dari pola hidup anak-anak Tuhan. Cobalah kita merenungkannya! Jika kita sebagai koloni jemaat Tuhan mengimplementasikan hukum Kristus dengan cara hidup bermutual, maka kita akan merasakan realita kesatuan dengan saudara seiman (sebagai tubuh Kristus), walaupun kita memiliki latar belakang sosial, budaya, pendidikan dan denominasi gereja yang berbeda.

Mutualitas merupakan pola hidup anak-anak Tuhan yang menekankan nilai-nilai kasih dan kepedulian terhadap beban atau persoalan saudara seiman. Pola ini bukanlah milik suatu kelompok atau denominasi tertentu, tetapi milik setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Mutualitas membangun mentalitas “melayani” dan bukan “dilayani.” Karena itu, hukum kasih Kristus merupakan pola hidup anak-anak Allah dalam kerajaan-Nya di dunia. Ini berarti ketika kita mengetahui dan melihat saudara seiman berada dalam beban atau penderitaan, maka kita sebagai saudara dalam iman wajib memberikan pertolongan tanpa mempertanyakan asal usul denominasinya.

Secara organisatoris, gereja yang bersangkutan sudah tentu wajib terlebih dahulu memperhatikan anggotanya daripada gereja lainnya, tetapi dalam mengimplementasikan hukum Kristus, hal ini tidak dibatasi oleh denominasi atau asal gereja. Jika tidak demikian, maka hukum Kristus dibatasi oleh kelompok gereja atau denominasi tertentu. Ini berarti orang percaya sebagai anggota tubuh Kristus secara universal terpisah-pisah atau terpecah belah. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar gereja atau denominasi.

Implementasi hukum Kristus harus melampaui batasan denominasi atau gereja secara organisatoris, sebab hukum Kristus bersifat universal dan dasar bagi pola hidup anak-anak Allah dalam kerajaan-Nya. Kerajaan Allah mencakup keseluruhan orang percaya di seluruh dunia; yang berarti setiap orang percaya terikat dalam persaudaraan dalam Kristus secara universal.

Ketika kita melihat saudara seiman menderita, penderitaannya adalah beban kita juga. Demikian pula ketika kita melihat saudara seiman jatuh di dalam dosa, hal ini tidak serta merta membuat kita mengucilkan atau memusuhinya, tanpa adanya kepedulian dan kasih terhadapnya. Sebaliknya, kejatuhannya adalah kesedihan dan beban kita untuk memperhatikan dan menolongnya, sehingga ia memperoleh pemulihan dan pertumbuhan rohani yang baik seperti semula. Tindakan menolong sudara seiman tersebut tentu saja tidak diikuti dengan motif mencari keuntungan atau pujian bagi diri sendiri, atau dilakukan karena like or dislike, tetapi karena status dan fungsional orang peraya sebagai tubuh Kristus yang mengaktualisasikan hukum Kristus. Sikap ini mencerminkan keunikan koloni Kristen yang telah hidup baru dalam Kristus.

Dengan kata lain, mutualitas menegakkan “kasih di dalam keadilan” dan “keadilan di dalam kasih,” sehingga seseorang yang menasihati atau menolong orang lain akan berusaha menegakkan kedisiplinan tanpa kehilangan kasih, dan memberikan kasih tanpa menghilangkan kedisiplinan. Demikian pula hal ini mengingatkan kepada kita bahwa, ketika kita menasihati atau menolong orang lain, sebenarnya kita sedang menasihati dan menolong diri sendiri; sebab dengan menasihati atau menolong orang lain, kita menyadari bahwa kita juga membutuhkan nasihat dan pertolongan dari pihak lain. Dengan sikap demikian, kita tidak akan pernah membanggakan diri karena kelemahan orang lain, sebaliknya kita akan hidup bermutual, saling tolong menolong dalam menanggung beban kita, Perkataan Paulus: “Saling bertolong-tolonglah menanggung bebanmu” merupakan cara yang tepat bagaimana kita mengimplementasikan hukum Kristus.



Soli Deo Gloria