Minggu, 15 Juni 2008

Musik Gereja & Budaya Postmodern

Quo Vadis Hymn?

Tinjauan Kultur Terhadap Eksistensi

Musik Klasik Gerejawi di Era Postmodern




I. POSTMODERN: FENOMENA KULTURAL

YANG TIDAK DAPAT DIHINDARI


Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972. Ketika rumah Pruitt-Igoe di St. Louis sebagai lambang arsitektur modern dihancurkan, maka penghancuran tersebut menandai munculnya era baru, yaitu postmodernisme. Dengan cepat fenomena ini kemudian menjadi gerakan populer dan intelektual; menjadi sebuah karakter sosial yang terus berkembang di budaya Barat dan merasuki ranah filsafat.

Istilah “postmodernisme” sebenarnya sulit untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena makna awalan “post” pada “postmodern” masih diperdebatkan. Tokoh-tokoh postmodernisme sendiri memiliki pandangan yang berbeda-beda. Jean-Francois Lyotard berpendapat, awalan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. Bagi David Griffin, awalan tersebut berarti sekedar koreksi terhadap aspek-aspek tertentu dari kemodernan. Bagi Jacques Derrida dan Michel Foucault, berarti kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Bagi Jurgen Habermas, berarti satu tahap dari proyek modernisme yang belum selesai. Ketiadaan definisi ini justru menunjukkan ciri khas dari postmodern. Karena itu, The Modern-Day Dictionary of Received Ideas menjelaskan bahwa kata postmodern ini “tidak punya arti,” dan “gunakan saja sesering mungkin.”

Apapun definisinya (yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan), postmodern telah hadir di tengah-tengah kita. Postmodern dalam bentuk “isme”-nya merupakan kritik terhadap filosofi wawasan dunia (worldview), epistemologi, dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan dalam bentuk kultural (postmodernitas) menunjukkan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, serta usangnya penggalian nilai-nilai tradisional. Meskipun keduanya berbeda, tetapi postmodernitas atau postmodernisme seringkali dipakai bergantian, dan keduanya saling berkaitan erat.

Pada masa kini postmodern merupakan fenomena kultural yang tidak dapat kita hindari. Kita sedang menghadapi sebuah kultur yang sangat berbeda dari kultur modern. Jika dalam modernisme (pencerahan), manusia dengan rasionya dianggap mampu menemukan kebenaran, nilai, atau makna tertinggi, maka dalam postmodernisme justru sebaliknya; kebenaran, nilai, atau makna tertinggi tidak hanya diperoleh melalui rasio, tetapi juga melalui emosi atau intuisi. Demikian pula, jika modernisme mengakui adanya kebenaran dan nilai yang obyektif, yang berkorelasi dengan sebuah objek, maka postmodernisme mengakui bahwa kebenaran dan nilai dari sebuah objek bergantung pada kelompok/masa yang menilainya, bukan berkorelasi dengan objeknya. Karena itu, hal yang kita anggap baik, hal ini belum tentu baik bagi orang lain. Demikian pula, hal yang orang lain anggap salah, hal itu belum tentu salah bagi kita. Hal yang dianggap fiksi, juga dapat dianggap sebagai ilmiah, atau sebaliknya. Hilangnya perbedaan fiksi dan ilmiah ini menjadi kultur postmodern.


II. MUSIK DALAM ERA POSTMODERN


Seperti apa musik di era postmodern? Keunikan postmodern yang berbasis lokal, masa, dan populer telah menempatkan musik rock sebagai ciri khasnya. Lirik-lirik lagu rock mencerminkan semboyan budaya pop postmodernisme.

Musik rock (baik yang terkenal maupun yang biasa) sebenarnya adalah gaya musik lokal dari etnis tertentu, namun musik ini memperlihatkan pluralitas gaya masing-masing yang diambil dari gaya musik setempat (lokal). Jika musik rock mampu memperoleh banyak penggemar, hal ini disebabkan karena tokoh-tokoh musik rock seringkali melakukan tur keliling dunia. Melalui sarana produk elektronika-informatika, mereka dapat menjangkau masyarakat kelas biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media masa.

Etos postmodernisme tampaknya telah menghilangkan batasan antara seni dan kehidupan sehari-hari, antara budaya tinggi dan budaya pop, termasuk pencampuradukan gaya yang bersifat ekletik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman,” serta hilangnya orisinalitas dan kejeniusan. Seni klasik yang bermutu tinggi tidak lagi diletakkan di atas budaya pop. Dengan kata lain, lirik lagu tidak dinilai dari kualitasnya, tetapi bergantung pada selera pasar, masa, dan populer. Karena itu tidak mengherankan apabila lirik-lirik lagu pada masa kini bergantung pada penilaian dan selera masa. Lirik-lirik lagu tidak lagi diciptakan untuk mencapai sebuah seni yang tinggi, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masa. Artinya, meskipun lirik lagu tertentu tidak memiliki kualitas yang baik, namun sesuai dengan selera atau kebutuhan masa, maka lirik lagu tersebut akan memiliki masa penggemar yang banyak. Sebaliknya, meskipun sebuah lirik lagu bermutu tinggi, namun tidak cocok dengan selera masa, maka lirik lagu tersebut tidak diminati banyak penggemar. Inilah etos musik dalam era postmodern.

Bagaimana perkembangan lirik lagu rohani/gerejawi pada masa kini? Sudah tentu lagu rohani yang mengikuti etos postmodernisme cocok dengan fenomena kultur yang ada. Lagu rohani kontemporer dapat beradaptasi dalam era postmodern karena lagu tersebut berbasis kultur postmodern. Penilaian yang menekankan emosi, intuitif, populer, dan tidak harus menekankan seni musik yang tinggi, telah mendorong lagu rohani kontemporer menjawab kebutuhan kultur masa kini. Selain itu, keterlibatan tokoh, media elektronik dan informatika (TV/radio/cassette), telah mendorong lagu rohani kontemporer memiliki banyak penggemar (menarik masa).

Bagaimana respons kita terhadap fenomena kultur ini? Apakah kita akan menyesuaikan diri dan tenggelam di dalamnya; ataukah kita akan mengambil sikap konfrontasi? Atau kita mencoba mengambil sisi positif dari era postmodern ini? Hal ini tentu saja memerlukan pertimbangan teologis, filosofis dan wawasan yang lebih mendalam tentang kebudayaan manusia di hadapan Allah. Karena tulisan ini hanya sebuah refleksi atau perenungan terhadap eksistensi musik klasik gerejawi di era postmodern, maka jawaban terhadap pertanyaan di atas tidak dibahas dalam tulisan ini.



III. EKSISTENSI MUSIK KLASIK GEREJAWI

DI ERA POSTMODERN: SEBUAH PROPOSAL


Menghadapi fenomena kultur ini kita tentunya bertanya, “bagaimana eksistensi musik klasik gerejawi di tengah-tengah era postmodern?” Apakah musik klasik gerejawi akan “terkubur” oleh budaya pop postmodernisme? Apakah musik klasik gerejawi hanya akan menjadi koleksi musik yang dimiliki oleh sekelompok jemaat tertentu?

Melihat dan mencermati kultur postmodernisme pada masa kini, maka yang perlu kita lakukan untuk melestarikan eksistensi musik klasik gerejawi adalah mempopulerkannya dan menghidupkannya.


Mempopulerkan Musik Klasik Gerejawi


Kultur postmodern yang menghilangkan batasan antara seni tinggi dan budaya pop bukan berarti meniadakan seni tinggi tersebut, melainkan menerima keduanya sebagai hal yang sama. Namun mengapa musik rock lebih dominan, populer, dan menarik masa daripada musik klasik yang bermutu tinggi? Hal ini terjadi karena budaya pop postmodern telah menjangkau masyarakat kelas biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop.

Fenomena kultur ini harus kita sikapi dengan mempopulerkan musik klasik gerejawi. Jika dalam sejarahnya, musik klasik hanya mendominasi kalangan elit saja, maka pada era postmodern, musik klasik gerejawi harus mampu menjangkau semua kelas masyarakat melalui media elektronika dan informatika (TV dan radio), sehingga musik klasik gerejawi menjadi kompetitor bagi budaya pop postmodernisme, yang dapat mendatangkan apresiasi dari semua kelas masyarakat Kristen. Dengan kata lain, musik klasik gerejawi dalam era postmodern harus memunculkan dan menyatukan basis masanya.


Menghidupkan Musik Klasik Gerejawi


Selain memopulerkannya, kita harus mengetahui bahwa musik klasik gerejawi dengan mutunya yang tinggi merupakan warisan klasik (pra/modernisme) yang menekankan sisi rasionalitas, sehingga kurang menyentuh emosi atau intuisi. Namun dalam hal ini bukan berarti lagu klasik gerejawi harus menghilangkan keunikannya (rasionalitasnya), melainkan disajikan secara lebih “personal,” sehingga membangkitkan dan melibatkan kompenen pribadi seseorang yaitu emosi atau intusinya. Dengan demikian musik klasik gerejawi mendorong seseorang untuk melibatkan aspek rasio dan emosi secara seimbang. Selain itu, musik/lagu klasik gerejawi tidak seharusnya menjadi warisan yang “mandeg,” tetapi terus dihidupkan dengan munculnya komposer atau lagu-lagu rohani yang baru bercorak klasik bersifat personal, tanpa meninggalkan warisan yang sudah ada. Memang diakui bahwa tingkat kesulitan musik klasik seringkali menjadi “momok.” Namun jika musik ini mampu mendapatkan apresiasi emotif, maka kesulitan akan berubah menjadi kecintaan. Musik ini harus dihidupkan sebagai musik personal yang membangkitkan seluruh aspek pribadi seseorang untuk memberikan yang terbaik dalam menyembah Tuhan.




Bacaan lanjut:


Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: ANDI, 2005).


I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003).


Millard J. Erickson, Postmodernizing the Faith: Evangelical Responses to the Challenge of Postmodernism (Grand Rapids: Baker, 1998).


_______________ , Truth or Consequences: the Promise & Perils of Postmodernism (Downers Grove: InterVarsity, 2001).


Robert C. Greer, Mapping Postmodernism: A Survey of Christian Option (Downers Grove: InterVarsity, 2003).


Justin R. Stutz, “The Reformers and Church Musics: a Biblical Analysis of Their Philosophies,” Faith and Mission 22/3 (2005).


Mary L. Conway, “Worship Music: Maintaining Dynamic Tension,” McMaster Journal of Theology and Ministry no. 7 (2006).








Tidak ada komentar: